12

1K 40 1
                                    

Aku membawa Megan ke restoran dekat dengan gedung Alatas. Kami duduk berhadapan dengan pandangan meneliti ke arahnya. Aku tidak mengerti, kenapa dia masih muncul di depan Alatas. Dan tampaknya dia tidak akan memberitahuku dengan cepat. Dia ingin aku frustasi dengan rasa penasaranku sendiri.

Yang aku lakukan hanya bersedekap sambil menatapnya. Aku terus menebak apa yang terjadi.

Minuman kami bahkan sudah datang, dan tidak satu pun dari kami yang bicara. Seolah kami sedang bertarung dengan keras kepala kami sendiri.

Hingga Megan sendiri yang mendesah kencang, menandakan kalau dia tidak akan memperpanjang kediamannya. Dan aku juga sudah cukup menguji ketahananku pada keterdiaman.

"Kau berhubungan dengan Al di belakangku?" tanyaku lebih dulu, sebelum Megan sempat bicara.

Megan tertawa dengan keras, tanpa ada kebahagiaan pada tawa itu. Dia seolah tengah mengejekku. "Berani kau mengucapkan itu padaku?"

Aku meletakkan tangan di atas meja. Menatapnya dengan sungguh-sungguh, karena aku menemukan kekesalan pada Megan begitu dia menatapku. Jadi, aku yakin, ada sesuatu yang harusnya aku tahu.

"Kau sendiri yang membawaku pada masalah ini, Nona Delima."

"Jangan sarkas. Apa yang terjadi? Jika aku merugikanmu maka aku mohon maaf. Aku melakukannya dengan tidak sengaja. Tapi setidaknya, kau harus katakan padaku dulu apa yang terjadi."

"Kau memang merugikanku. Sangat. Sayangnya aku masuk ke kerugian itu seorang diri. Padahal aku bisa mengelak tapi aku tidak dapat membuatmu dipertanyakan."

"Kau berputar-putar, Megan."

"Intinya, pria itu pikir dia tidur denganku. Dia pikir yang dia perlakukan dengan kasar adalah aku. Jadi, dia datang menemuimu dan memohon maaf padaku. Katakan sekarang, menurutmu, apa yang aku katakan padanya?"

"Bahwa bukan kau perempuannya?"

"Ya. Aku mengatakank itu. Dan dia tidak percaya. Karena seingatnya hanya aku perempuan yang ada bersamanya malam itu. Dan pemilik motel itu mengonfirmasi, akulah yang memesan kamar."

"Dan kau tetap bersikeras bukan kau orangnya?"

"Tidak. Karena aku yakin perempuan yang bersamanya tidak mau mengatakan yang sebenarnya padanya. Itu makanya dia terus percaya akulah orangnya."

Aku menunduk dan menyedot minumanku. Aku ingin lari dari situasi ini, apalagi dengan pandangan Megan yang seolah bisa menembus akal sehatku.

Megan mendengus. "Seperti yang aku dugakan, kau tidak memberitahunya."

"Dia tidak perlu tahu."

"Ah, kau mengatakannya seolah dia akan melepaskan aku dengan mudah. Dia membuat aku menderita, aku hanya ingin kau tahu itu."

"Dan bagaimana dia membuatnya?"

"Dia meminta orang mengawasiku. Setiap detiknya akan selalu ada orang di jarak aman. Memang aku tidak akan sadar kalau aku tidak mencarinya, tapi tahu kalau ada yang mengikutimu, jelas itu tidak membuatmu nyaman."

"Kenapa dia melakukannya?"

"Pertama, dia tidak mau kau tahu. Dia mengatakan ada seseorang yang harus dia lindungi. Dan dia tidak mau orang itu tahu apa yang sudah dia lakukan. Meski tanpa sengaja, dia tetap tidak mau kau tahu."

"Dan bagaimana kau tahu aku orangnya?"

"Siapa yang hendak kalian bodohi. Kalian memiliki perasaan yang sama. Dan kalian dengan mudahnya coba melawan perasaan itu. Lihat siapa yang akan kalah."

"Lalu yang kedua?"

"Kedua, dia ingin memastikan apa aku hamil."

Refleks aku memegang perutku.

Megan yang sadar sempat terkejut. "Jangan katakan kau sedang masa subur saat dia melakukannya."

Aku berdeham kencang, coba memperingati dia kalau kami di tempat ramai. Aku menatap Megan percaya diri. "Tidak. Aku sedang tidak masa subur."

"Kau yakin?"

Aku mengangguk.

"Memangnya kau tahu masa suburmu? Kau sudah mengecek ke dokter?"

"Kenapa aku harus melakukannya? Aku belum bersuami dan apa yang akan dikatakan dokter kalau aku menemuinya."

"Berarti kau memang tidak tahu. Kau harus berhati-hati. Jika kau tidak mau ada masalah. Aku sarankan, kau minum obat sejak sekarang. Itu akan membuatmu lebih tenang."

Aku memegang perutku dengan kuat.

Hamil Anak Sepupu Where stories live. Discover now