2. Playing Victim

Start from the beginning
                                    

"Sejak kapan kita jadi kambing hitam? Kita ini para hantu, Bego!" Kukuy nyahut lagi. Kayaknya dia lagi PMS meskipun nggak ngalamin haid. Ya, anggap aja efek penuaan dini.

"Bukan gitu, Bego! Maksud gue, kita melulu ya disalahin sekalipun bukan kita pelakunya!" Poci ngejelasin dengan wajah merah karena marah.

"Maksudnya gimana? Ada hantu yang tertangkap lagi?" Gue lama-lama nggak paham arah pembicaraan Poci yang berputar-putar macam lingkaran.

"Lo tahu, kan? Rumah tangga negeri ini sedang nggak baik-baik saja? Para istri lagi waspada dan curiga besar-besaran sama suaminya karena banyaknya kasus perselingkuhan selebriti."

"Terus, apa hubungannya sama kita?" Susot nanya lagi. Dia emang agak lambat, baik dalam melangkah atau mikir.

"Para manusia itu nyalahin kita. Katanya para peselingkuh itu tergoda pelakor karena godaan setan. Padahal, kita, kan nggak ngapa-ngapain? Kenapa kita juga yang harus nanggung kesalahan manusia yang bahkan nggak ngasih kita sesajen sebagai kompensasi?" Poci berucap dengan tegas dan lantang.

"Jadi, maksud lo, kalau dikasih sesajen, lo mau disalahin?"

"Kagaklah!"

"Terus?"

"Ya, intinya, itu, kan perbuatan Dasim, bukan kita! Mereka nggak bisa bedaan setan dan jin apa?"

"Bisa, cuma mungkin lupa," sahut gue singkat. "Terus? Apa lagi yang bikin lo nggak terima?"

"Kalian inget, kan, anak sebelah yang gagal tes polisi? Dia jadi stress dan rada gila sekarang."

"Iya, terus?"

"Orang-orang bilang kalau dia sudah kemakan sama setan makanya hilang pikirannya. Sejak kapan kita makan pikiran manusia? Nggak nyampe otak gue." Poci geleng-geleng kepala dengan ekspresi nahan emosi.

"Lo emang punya otak?" sahut Kukuy ke Poci.

"Lo nyari ribut?"

"Ribut lagi ada di rumahnya, jangan dipanggil," celetuk Susot ngebuat Poci dan Kukuy natap sinis ke hantu lemot itu.

Ribut yang Susot bilang adalah hantu lokal, lebih tepatnya jin buangan yang lalai dalam tugas atau ngelakuin hal berat, ngebuat statusnya dicabut lalu dibuang ke dunia manusia.

"Gen, ayo protes! Kita harus ngebersihin nama baik kita!" Poci nggak nyerah.

"Nggak, ah."

"Kenapa?"

"Nggak penting. Daripada ngajuin protes, gue pengen tahu nasib mbak Wewe gimana," jawab gue penasaran soal pembahasan kemarin yang belum kelar diungkapkan.

"Ah, soal itu, gue denger sesuatu." Kunti three, yang paling muda, ngejawab.

"Apa yang lo denger?" tanya gue kepo berat.

"Manusia itu masih hidup. Katanya ada orang pintar yang berhasil menstabilkan jiwanya."

"Kalau nasib mbak Wewe gimana katanya?"

Kunti three geleng kepala "Gugun bilang mbak Wewe dibuang ke neraka. Jadi pekerja di sana."

Kami semua terdiam. Satu temen kami terbuang lagi. Padahal bukan salah kami, tapi pihak kami yang sekali lagi dirugikan.

"Kita harus protes, Gen. Seenggaknya biar ada keringanan. Yang mancing keributan duluan, kan, pihak manusia, masak kita terus yang jadi korban? Ini namanya playing gaming, mah!" Poci nggak terima.

"Playing victim, tauk!" Kukuy ngeralat ucapan ngawur Poci.

"Apa pun namanya, pokoknya, kita harus protes, Gen!" Poci masih teguh pendirian.

Gue terdiam. Semua hantu natap gue, nunggu pendapat gue.

"Nggaklah. Udahlah kalian bubar aja, bentar lagi mangrib, kalian harus pulang!"

Semua hantu di sana pun bubar jalan. Masing-masing kembali ke tempat asal.

Sebelum balik ke kamar Rifki, gue ngeliat kunti two yang sejak tadi cuma diam. Dia ngeliat gue juga, tapi nggak bilang apa pun.

Ya, dia emang jarang ngobrol atau berekspresi. Dia juga satu-satunya hantu yang nggak takut ke gue.

Mau playing victim atau nggak, nyatanya semua sudah diputuskan. Kami nggak bisa ngelakuin apa pun buat nolong mbak Wewe.

Di dunia ini, nggak ada yang namanya keadilan bagi seluruh manusia atau setan. Sebab, ketidakadilan yang dirasakan terkadang adalah keadilan yang sebenarnya.

Semua terasa nggak adil karena bukan seperti yang kita harapkan. Itu saja. Nggak ada penjelasan lain.

HANTU JULIDWhere stories live. Discover now