Tegar memicingkan matanya bersamaan dengan kening yang mengerut. Tentu saja, Respati merupakan pemilik tempat dan dari apa yang Monica dengar tentang wanita tersebut, Respati memiliki jaringan khusus ke beberapa penadah tanaman langka yang ia budidayakan. Mungkin tidak akan berisiko besar bila hanya soal tanaman langka, tetapi bakal sangat sensitif karena yang ia tanam termasuk tumbuhan terlarang seperti bahan utama narkoba. Itu sebabnya wanita itu sulit diajak kerja sama karena ia tidak bisa percaya begitu saja pada orang lain meski nama Black Mountain terbilang besar.

"Sayang sekali, Ibu Respati sedang tidak ada di tempat. Kau mungkin bisa datang kembali beberapa hari kemudian. Itu pun kalau beliau bersedia menemuimu."

Monica tersenyum miring lantas berbisik pada Peter, "Wanita itu ada di dalam. Dia hanya menghalang-halangi."

Peter mengangguk paham, percaya seratus persen dengan hasil pemindaian pikiran yang dilakukan Monica. "Akan lebih mempersingkat waktu jika Anda membiarkan kami bertemu dengannya di dalam, Pak Tegar."

"Sudah kubilang Ibu Respati tidak ada. Apa kau mengerti bahasaku?" balas Tegar dengan nada sedikit tinggi.

"Tolong beri kami kesempatan. Aku yakin pertemuan ini tidak akan lama."

Sebelah tangan tegar meraih sesuatu di belakang pinggang. Peter dan Monica mulai berhati-hati sebab pria itu hendak mengeluarkan senjata api.

Peter kembali tersenyum sabar. "Jangan mengusir kami dengan cara kasar, Pak."

Kalimat itulah yang langsung diterjemahkan oleh Monica sebagai sebuah perintah. Ia menjetikkan jari tepat di muka Tegar. Pria itu langsung terdiam dengan pandangan kosong. Semudah itu, mereka diantarkan langsung oleh Tegar ke ruangan di mana Respati harusnya berada. Rumah itu sangat luas dan tertata rapi dengan gaya natural. Tanaman-tanaman hias menutupi hampir setengah permukaan dinding bagian atas, dedaunannya lebat merambat dan berbunga di banyak sisi. Sekilas Monica suka dengan tempat ini dan ingin sekali memuji perancangnya secara langsung, tetapi akan terlihat norak di saat serius seperti ini.

Tegar membawa mereka berhenti di depan pintu berwarna biru langit. Ia membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Monica mengucapkan terima kasih dalam bahasa inggris lalu mengikuti Peter yang sudah masuk lebih dulu.

"Bu Respati Tanujaya," sapa Peter dengan nada ramah yang dibuat-buat.

Seorang wanita paruh baya sedang duduk di sebuah kursi goyang sambil mengembuskan asap rokok. Bibir merah meronanya tampak mencolok, tatapan matanya yang tajam seakan-akan tidak suka diganggu. Ia berhenti menggoyangkan kursi, melihat Monica dan Peter bergantian tanpa kata-kata. Baju terusan batik sutera yang dikenakan membuatnya sangat cantik meski di usia yang tidak lagi muda. Monica merasakan aura yang tidak biasa. Saat Respati berdiri dan berjalan menghampiri mereka, Monica dibuat takjub dengan aroma parfum yang terhidu.

"Bagaimana bisa Tegar mempersilakan kalian masuk tanpa meminta izinku dulu?" Suara yang dikeluarkan Respati mendayu, tapi tegas dalam artian mengancam. Ia berdiri begitu dekat dengan Peter dan matanya terlalu memperhatikan Monica.

"Dia pria yang sangat murah hati," jawab Peter gampang. Lagi-lagi, Peter memperkenalkan diri sebagai Garrick dan Chloe sebagai rekannya. "Kami berniat untuk membuat kerja sama dengan Anda, Bu Respati."

"Aku sudah tahu," balasnya. Ia mengisap rokok, lalu membuang asapnya sambil bicara di hadapan Monica dan Peter. "Semua orang asing yang datang ke sini sudah pasti menginginkan anak-anak kesayanganku. Kau dari organisasi mana?"

"Black Mountain, kau pasti sudah pernah dengar."

"Ah ..." Respati tertawa. Ia membalikkan badan, melangkah menjauhi mereka. "Aku sudah pernah bilang pada The Meredith, tidak akan pernah menjual Ki leho beureum padanya dengan alasan apa pun. Dan sekarang ia mengutus seorang penerjemah dan gadis polos padaku untuk memohon? Yang benar saja."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Under The MirageWhere stories live. Discover now