✶ Chapter 1

42 7 4
                                    

✶ Bintang Jatuh ✶
╍╍╍╍╍╍╍╍╍╍╍╍╍╍╍╍╍╍╍╍

Bintang-bintang bersinar dengan gemerlapnya menghiasi langit pada malam itu. Sepoi-sepoi angin menyapu perlahan rambutnya. Evan tersenyum tipis. Kedua manik matanya terus menatap ke arah langit, memperhatikan setiap bintang yang ada.

Evan menyukai bintang, dari kecil ia selalu mempelajari tentang bintang dan luar angkasa. Bahkan ia bermimpi ingin menjadi seorang Astronot agar bisa pergi ke luar angkasa untuk melihat bintang lebih dekat. Walau terdengar mustahil, tapi setidaknya Evan sudah berusaha mewujudkannya.

Kedua telapak tangannya menutup buku yang sejak tadi terbuka di pangkuannya, ia menyudahi membacanya. Buku yang ia baca adalah buku dongeng bintang favoritnya, Stella. Ibunya selalu membacakannya ketika ia masih kecil dulu.

Stella sendiri diceritakan sebagai bintang ajaib yang seolah-olah memiliki pikiran sendiri, Stella akan mendatangi sebuah planet yang menurutnya menarik, dan mengajak orang yang dia temui ikut bersamanya. Memang terdengar sangat kekanakan, tetapi Evan sangat suka membaca buku dongeng ini sampai sekarang.

Evan memejamkan matanya sejenak, dengan sembarangnya ia berucap, “Kalau misalkan Stella datang ke Bumi, aku mau jalan-jalan keliling galaksi.”

Baru saja kelopak matanya kembali terbuka, tiba-tiba sebuah benda di atas langit melintas di depannya, seperti bintang jatuh. Evan sontak kaget, karena benda yang ia sangka bintang itu juga mengeluarkan cahaya berwarna biru terang.

Akibat memiliki rasa penasaran yang tinggi, Evan membereskan barangnya ke dalam tas lalu pergi mengejar bintang jatuh itu menggunakan sepeda.

Hari sangatlah larut, jadi jalanan kota pun sangatlah sepi sekarang. Meski begitu Evan tetap waspada jika sewaktu-waktu ada orang yang tiba-tiba lewat.

Kedua kakinya berhenti mengayuh, tangannya pun dengan cepat ngerem sepedanya, Evan tiba di sebuah hutan. Sebenarnya ia takut untuk masuk ke dalam sana, apalagi tidak ada pencahayaan sama sekali selain Bulan di langit.

Namun, dikarenakan ia juga penasaran dengan bintang jatuh tadi, Evan memberanikan diri mengayuh sepedanya masuk ke dalam hutan tersebut.

Sesuai dugaannya, di sana gelap dan menyeramkan. Semua pohon terlihat sama, membuatnya bingung mencari patokan untuk pulang nantinya.

“Aku bisa mati kalau tidak tau jalan pulang di sini,” gumam Evan merogoh isi tasnya, berharap menemukan sesuatu berguna sebagai penanda jalan.

Evan menemukan pita merah dan juga gunting, ia memotongnya menjadi beberapa bagian lalu mengikatnya di ranting-ranting pohon dengan jarak yang masih terhitung berdekatan.

Semakin lama, Evan bisa merasakan kalau ia semakin dekat dengan bintang jatuh itu. Buktinya, cahaya bintang semakin terang dibandingkan sebelumnya. Evan tiba di sebuah sungai. Di seberang sana cahaya lebih terang lagi bersinar.

Hanya ada bebatuan sebagai titian. Mau tidak mau Evan harus meninggalkan sepedanya, ia memarkirkannya di bawah salah satu pohon, dan dengan hati-hati melompat di atas bebatuan. Sempat beberapa kali Evan hampir terpeleset dan jatuh ke air, tetapi untungnya ia berhasil bertahan.

Akhirnya Evan tiba di sisi seberang sungai, kedua kakinya kembali melangkah masuk ke dalam hutan yang sekitarnya sudah terpancar oleh cahaya biru dari bintang jatuh tadi. Cahaya itu semakin lama semakin terang, kedua matanya terasa silau meski sudah memakai kacamata sekalipun.

Evan berhenti melangkah, tepat di depannya terdapat sebuah lubang bersama dengan sebuah pesawat luar angkasa asing di dalamnya. Mau ia kira itu roket tapi bentukannya sangat berbeda. Malahan mungkin pesawat itu terlihat lebih canggih dibandingkan roket, hanya saja ukurannya lebih kecil.

Perlahan Evan turun, masuk ke dalam lubang dan mendekati pesawat asing itu. Meski penasaran Evan tetap menjaga jaraknya agar tidak terlalu dekat. Karena mustahil pesawat ini bisa sampai kemari tanpa pengemudi, 'kan? Bagaimana jika pengemudinya adalah alien jahat yang akan membunuhnya dan menjadikan tubuhnya sebagai objek penelitian?

Mata Evan mulai menyipit, ia melihat sesuatu di bagian depan badan pesawat. Sebuah tulisan.

“Stella.” mulutnya membaca tulisan tersebut.

Alisnya berkerut bingung. Apa itu adalah nama pesawat misterius ini? Kenapa namanya terdengar mirip dengan nama bintang yang ada di dalam buku dongengnya?

Pintu pesawat terbuka. Sebuah tangga keluar dengan sendirinya, menyentuh permukaan tanah, seolah-olah mengajak Evan untuk masuk ke dalam.

“Kau ingin aku masuk?” tanya Evan memastikan, tapi tidak ada jawaban sama sekali.

“Hey! Ada orang tidak?"

Masih tidak ada jawaban.

"Halo? Tidak mungkin tidak ada pemiliknya, 'kan? Kalau diajak bicara tolong dijawab!” lagi-lagi tidak ada jawaban dari dalam pesawat.

Sebenarnya Evan mulai ragu dengan pesawat ini, tapi karena penasaran juga ia tetap memaksakan diri untuk masuk ke dalam, ternyata bagian dalam pesawat lebih bagus dari pada luarnya. Di sana, Evan terus memberikan tanda-tanda kalau ia memasuki pesawat itu. Entah dengan cara mengetuk-ngetuk dinding atau berbicara keras.

“Wah, di sini bagus sekali. Serasa melihat teknologi masa depan saja. Kenapa bisa ada pesawat secanggih ini? Asli, ini keren menurutku,” puji Evan terus-menerus.

Saking mengaguminya, tanpa sadar ia sampai di ruangan paling depan pesawat, yaitu ruang kendali. Ketika dibuka, ruangan itu kosong, satu orang pun tidak ditemukan di dalam. Padahal ada beberapa kursi di sini, tapi kenapa sepi sekali?

Evan memberanikan diri meraba permukaan kursinya.

Dingin.

Seakan-akan sudah tidak diduduki dalam jangka waktu lama, bukan hanya satu kursi, tapi semua kursi di ruangan ini terasa dingin seolah tidak tersentuh sama sekali.

Aneh. Padahal juga Evan datang ke sini di saat-saat pesawat ini masih baru-barunya menghantam tanah, seharusnya kursi-kursi ini masih terasa hangat, pendingin ruangan pun sepertinya tidak berfungsi, mustahil dingin dalam waktu secepat ini, 'kan?

Tiba-tiba sebuah suara terdengar entah darimana asalnya, suaranya seperti alarm pemberitahuan. Evan memilih diam mendengarkan.

“Halo! Namaku Stella. Senang bertemu denganmu, Evan Alison.” tiba-tiba suara alarm itu berhenti lalu dilanjutkan dengan suara lain seolah memperkenalkan dirinya.

Evan kaget karena suara itu tau nama lengkapnya, padahal sedari tadi ia tidak menyebutkan namanya sama sekali.

“Kau tau namaku? Siapa kau sebenarnya?” tanya Evan.

"Aku? Seperti yang kubilang sebelumnya, namaku Stella, dan aku adalah pesawat bintang antar galaksi," jawab pesawat bernama Stella itu.

‘Namanya benar-benar sama seperti di buku,’ batin Evan.

"Tujuanku datang ke sini adalah untuk menjemputmu, Evan," lanjut Stella kemudian.

"Apa? Menjemputku? Urusan apa yang kau punya denganku?” Evan mulai memasang tatapan penuh waspada.

“Karena kau memiliki 'benda' itu, benda yang paling dicari,” jawab Stella lagi.

Evan kembali mengerutkan alisnya bingung. “Benda apa maksudmu? Aku tidak ngerti.”

“Kau memilikinya tapi kau sama sekali tidak tau? Sungguh menarik.”

“Cukup jawab pertanyaanku!” tegas Evan sudah mulai tidak sabaran.

“Miria Alison. Dia pernah menitipkanmu sesuatu, 'kan?” Ingatan Evan kembali berputar ke masa kecilnya dulu, ketika ibunya masih berada di sisinya.


****


Pada suatu malam, Miria membacakan Evan sebuah dongeng seperti setiap malam biasanya. Evan yang waktu itu berusia sekitaran enam tahun hanya bisa rebahan di pangkuan ibunya, menikmati kisah di dalam dongeng, meski ia sudah hafal isinya.

“Evan. Mama ingin memberimu sesuatu,” ucap Miria tiba-tiba, tangannya meraih sesuatu di atas laci kecil di samping kasur.

Evan dengan sigap langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Miria menunjukkan sebuah kotak kayu berukuran sedang. Evan memiringkan kepalanya bingung.

“Itu apa, Mama?” tanya Evan dengan polosnya.
Bukannya menjawab, Miria hanya tersenyum. Kotak tadi dia letakkan tepat di depan mereka berdua, Miria mengeluarkan sebuah kunci berwarna perak, dia berusaha membuka kotak itu.

Kotaknya berhasil dibuka. Di dalamnya terdapat sebuah bola kaca seukuran Bola kasti. Di dalam lapisan kacanya terdapat sesuatu seperti sebuah bongkahan batu kristal berwarna biru terang, kristal itu bagaikan inti dari bola tersebut.

“Evan harus janji dengan Mama, ya? Apa pun yang terjadi, jangan sampai Bola kristal ini jatuh ke tangan orang lain, pokoknya hanya Evan yang boleh menyimpannya, paham, Sayang?”

“Kenapa Mama bicara begitu? Kenapa Mama bicara seolah hanya Evan yang bisa diandalkan? Mama tidak akan meninggalkan Evan seperti Papa, 'kan?"

Butiran air mata jatuh mengalir menuruni pipinya. Evan begitu takut jika harus kehilangan ibunya juga, pasalnya ayahnya sudah meninggalkan mereka lebih dahulu. Hatinya masih terlalu rapuh untuk menerima apa yang akan terjadi nantinya.

Miria merasa tidak tega, dia langsung menarik Evan masuk ke pelukannya. Miria tau kalau dia sudah terlalu banyak menyembunyikan rahasia dari putra kesayangannya ini. Tapi dia yakin cepat atau lambat, Evan akan segera mengetahuinya.

“Mama sekarang masih bisa bersama Evan. Tapi kalau misalkan Mama tidak ada, Mama ingin Evan tau kalau Mama akan selalu ada di hati Evan.” Tangan Miria menyapu lembut air mata anaknya.

“Makanya Evan harus jaga bola ini, ya?” ulang Miria lagi. Meski terdengar sakit, Evan hanya bisa mengangguk mengiyakan.

3 tahun kemudian, Miria menghilang secara misterius. Dia tidak bisa dihubungi, jejak pun tidak ditinggalkan sedikit pun. Wanita itu benar-benar pergi meninggalkan putranya sendirian, sayangnya lagi Evan tidak memiliki kerabat sama sekali di kota ini.

Berakhir ia diletakkan di Panti Asuhan Herbert dan tumbuh di sana selama 8 tahun setelahnya. Meski ditinggal oleh sang ibu, Evan tetap berharap Miria akan kembali untuknya dan jika bisa pun ia rela mencari ibunya itu sampai ke berbagai belahan dunia sekalipun.


****

Stella [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang