Aku makin merasakan tubuhnya yang demam. Tapi buatku, itu nggak penting.

Yang terpenting adalah tangan kita, dia menggenggamnya dengan kencang seakan menahanku untuk tetap bersamanya.

Aku tersenyum, bodoh memang.

Dengan mantap, aku mulai mengelap peluh yang ada di wajahnya pelan pelan. Kuamati wajahnya lamat lamat sambil mengelap peluh yang ada di wajahnya.

Matanya tertutup, tapi tidak menghalangi pesonanya.

Seakan akan ... pesonanya tidak akan pernah habis.

Tidak lama, ia melepas tautan tangan itu dengan sendirinya. Membuatku sedikit kecewa, namun aku langsung mengingat sesuatu.

Dengan cepat, aku langsung merogoh saku rok, menarik sapu tangan pink dari dalam sana, yang kebetulan, belum dipakai.

Dari dulu sampai sekarang, kebiasaan Mama waktu aku sakit adalah mengompres dahiku dengan lap basah.

Oke, aku akan melakukannya, untuk dia.

Untuk Aji.

Secepat kilat, aku melesat pada lemari berwarna coklat yang ada di ujung ruangan. Membukanya dan dengan cepat menemukan baskom kecil. Setelah itu, aku langsung menuju kran dan mengisi baskom kecil itu dengan air dingin.

Setelah itu, kubasahi sapu tangan. Sapu tangan yang tadinya berbentuk persegi sama panjang, jadi persegi panjang karena lipatanku.

Setelahnya, aku langsung menempelkan sapu tangan itu pada dahinya.

Aku mengulanginya sampai tiga kali, berharap demamnya turun. Selimut yang tadinya terlipat di atas nakas kini telah tersampir di atas badannya yang meringkuk kedinginan. Sepatu yang tadinya terpakai saat dia tertidur, sekarang sudah terlepas. Menyisakan kaus kaki berwarna coklat.

Bahkan, aku sudah menyiapkan teh hangat buat dia saat terbangun nanti.

Tapi, dahinya masih berkerut. Menandakan dirinya masih belum sehat.

Tiba tiba, sesuatu yang ada di kantongku bergetar sekali. Menandakan satu pesan masuk.

Teressa: Rik, udah sejam lo di UKS. Lo kenapa?

Teressa: Lo lupa ada ulangan Bahasa Indonesia hari ini?

Teressa: Bu Nedya udah di kelas. Gece.

Untuk kesekian kalinya, aku merasa sangat bodoh.

Aku langsung ke kelas tanpa berbikir panjang.

~~~

Sudah jam empat sore.

Sudah menjadi kebiasaan Rika, setidaknya tiga kali seminggu untuk menemani Keiza sampai jam tidur- jam sembilan. Karena sebulan ini, Keiza memang susah tidur jika sendirian. Dan ini hari pertama dalam minggu ini.

Rika mengetuk pintu kamar Keiza sebanyak tiga kali, berharap pemilik kamar ini terbuka. Namun, nihil.

Rika mulai mendorong pintu kamar dengan pelan. Ketika ia melirik sedikit isi kamar itu, tak ada seorangpun di sana.

Ia masuk dengan langkah mantap, langkahnya mengarah pada pintu kamar mandi. Namun, kamar mandi itu terbuka dan menandakan bahwa siapapun tidak ada di sana.

Rika panik.

Ia langsung menggeser layar ponsel yang ada di tangannya, lalu menelpon Keiza.

Lima detik kemudian, seseorang menjawab telponnya.

"Kei?"

"Apa?" Katanya dengan jelas, yang membuat tingkat kepanikan Rika menurun beberapa persen.

"Lo di mana?" Tanya Rika hati hati.

"Di supermarket. Gue mau bikin sushi, lo di rumah gue 'kan?"

Kali ini, Rika benar benar lega.

Karena terakhir kali Keiza keluar rumah ketika Rika ada di rumahnya, Keiza bilang dia sedang ada di pemakaman Herjuno, dan pulang dengan panas tinggi.

"Rik?" Tanya Keiza membuyarkan lamunan Rika.

"Iya, gue tunggu ya. Jangan lama lama."

Lalu sambungan terputus.

Sebelum ia menekan tombol kunci, ponselnya bergetar.

Sebuah pesan, dari nomor yang tidak dikenalnya.

Hai Rika.

Rika mengernyitkan dahinya, seumur umur, ia tidak pernah memberikan nomor ponselnya ke orang yang tidak benar benar dekat dengannya.

Kecuali Aji, batin Rika.

Mendadak, jantungnya berdebar ketika mengingat nama laki laki itu.

"Ini Aji bukan sih?" Lirih Rika. Jantungnya berdebar sepuluh kali lebih cepat ketika melafalkan nama laki laki itu.

Ia tersenyum tanpa tersadar. Memikirkan orang itu memberi pesan saja, rasanya sudah seperti diterbangkan. Ah, maklum, orang yang sedang jatuh cinta memang seperti itu.

Tangannya berkeringat secara tidak sengaja. Setelah berusaha menguasai dirinya, ia mulai membalas pesan itu, tanpa ragu.

Ini siapa?

Setelah membacanya berulang ulang, ia mantap menekan tombol kirim.

Huh, Rika mulai tidak sabar menunggu. Sudah satu menit berlalu dan hampir setiap sepuluh detik ia membuka layar kunci ponselnya. Namun, ponsel itu tidak memberikan pemberitahuan ada pesan baru yang masuk.

Rika masih setia memegangi ponselnya, sampai ia mendengar bel rumah Keiza berbunyi selama tiga kali.

Dengan cepat, ia meletakkan ponselnya pada kasur dan bergegas untuk turun ke bawah. Seakan lupa dengan pesan yang ia tunggu tunggu itu karena bel rumah yang menandakan bahwa si tuan rumah sudah datang.

Benar saja, Rika lupa dengan ponselnya! Sudah sekitar satu setengah jam ia meninggalkan ponselnya dan menghancurkan seisi dapur-maksudnya memasak bersama Keiza.

Padahal, seseorang telah menjawab pesan Rika, satu jam yang lalu.

EnsconceOù les histoires vivent. Découvrez maintenant