egois.

16 2 0
                                    

Suara senar yang bergetar ikut membuat udara di sekitarnya mengalami pergerakan berskala mikro. Bergantian, deretan jemari kiri mengubah-ubah frekuensi yang dihasilkan oleh sebagian dari barisan enam senar berbeda ukuran sedangkan jari-jari di tangan kanan kebagian memetik sedemikian rupa sehingga harmoni satu lagu dapat tercipta karenanya. Memanjakan telinga sang adam, walau permainan alat musik yang ia dengar belum bisa dibilang amat mahir. Sebab disempurnakan oleh suara (yang menurutnya) indah. Mendayu-dayu, seolah-olah itu membelai dengan lembut indra pendengarannya.

Dan tanpa sadar, satu lagu telah selesai dimainkan. Sosok pirang kini menatap lekat mata setajam elang dan sehitam arang milik lelaki di hadapannya, seakan meminta imbalan atas apa yang telah dilakukan. Dengan alat musik genjreng yang masih berada di pangkuan.

Ada keheningan sejenak di ruangan tersebut sebab sang hawa tak langsung berbicara selepas selesai melantunkan lagu. Pemuda berstatus tamu di kamar yang sekilas memiliki nuansa biru-ungu itu juga sama saja. Termenung, bedanya dengan alasan menunggu inisiatif dari si tuan rumah.

"Bagaimana menurut Izuki-senpai? Apakah permainan gitarku bagus?"

Netra lelaki yang dipanggil namanya itu kini menatap lekat iris sewarna kopi. Senyuman yang tersirat agak pahit tersungging di bibirnya mengingat apa yang telah dialami pemilik mata cokelat beberapa bulan yang lalu.

Apakah tidak apa jika ia ingin merasa egois saat ini?

.

.

.

Helaian hitam bergoyang ke atas dan ke bawah dengan cepat, selagi pemiliknya berlari ke arah stasiun untuk menuju alamat yang diberitahukan oleh seorang wanita hampir berusia separuh baya beberapa waktu lalu. Pemuda itu baru mendapat kabar tentang sobat karibnya sepulang kegiatan klub; saat dirinya sampai di rumah. Dan tak menunggu waktu lama saat ia tahu, seorang Izuki Shun langsung beranjak keluar rumah kembali. Tergesa-gesa sampai hanya sempat menapakkan kaki saja dalam rumah yang ia tinggali—ya, hanya berdiri sekejap mendengar kabar saja lalu ia pergi lagi.

Ia terus berlari. Tak sempat dirinya memikirkan orang-orang yang berpikir bahwa pemuda itu sekarang terlihat seperti orang gila, layaknya bocah yang lari kalang kabut sehabis melihat hantu mungkin pikir mereka. Namun pemikiran itu pula lah yang membuatnya sampai di dalam kereta lebih cepat dibanding yang seharusnya.

Tak dapat ia tahan kegusaran yang meliputi organ berpikir selama tiga puluh menitnya, kurang lebih, berada di kereta. Kalut dirasa meliputi otak selama di perjalanan. Apalagi, di balok bergerak itu dia hanya duduk saja. Tentu mempermudah otaknya untuk berpikir liar dan persinggahan utamanya adalah kemungkinan terburuk; kematian.

Sampai stasiun tempat pemberhentian pemuda itu memutuskan untuk berhenti berlari. Meski kecepatan berjalannya lebih cepat dibandingkan kondisi melangkah manusia pada umumnya. Pikiran sudah sedikit tenang walau tetap masih ada gusar yang menyelimuti. Namun dia sadar, panik dan terlalu berlebihan dalam berpikir hanya akan memperburuk keadaan. Walau Jepang merupakan negara yang termasuk aman, tidak menghilangkan kemungkinan ada yang memanfaatkan keadaannya sekarang yang kurang stabil untuk berbuat kejahatan. Contohnya pun sudah di depan mata. Karena dia kini telah berdiri di depan salah satu rumah sakit.

Lelaki bernama Izuki Shun itu menyempatkan waktu sebentar untuk menyiapkan mental. Berdiri dan menghela napas untuk beberapa waktu, ia akhirnya melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam area yang penuh rembakan bau obat di setiap sisinya. Sebelumnya ia telah menghubungi beberapa orang, sehingga kaki tahu kemana untuk dilangkahkan. Menuju ke arah ruang tunggu tempat keluarga pasien yang tengah menjalani prosedur operasi. Mencari seseorang yang dikenalnya untuk meminta kejelasan apa yang sebenarnya tengah terjadi.

Sedikit tergesa-gesa. Walaupun tadi dia sudah meyakinkan diri untuk tidak panik, akan tetapi bau khas rumah sakit nyatanya membuat pikirannya kembali amburadul. Mau dicoba bagaimana pun, ia sama sekali tidak bisa merasa tenang. Tidak bisa sebelum dia bertemu dengan orang yang dikenalnya.

"Izuki-kun, bukan? Sini, Nak!"

Shun menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Suara yang familier, suara yang dia cari selama ini. Lekas ia persempit jarak antara dia dan beberapa orang yang berkerumun, terpusat di satu titik di ruang rumah sakit yang dipijakinya ini. Sebagian dari mereka ada yang mengambil posisi duduk dan beberapa berdiri. Orang yang memanggil nama Shun adalah salah satu yang berdiri saat itu. Seorang wanita paruh baya

"Tante, bagaimana keadaan Fumiko-kun saat ini? Apa dia ... baik-baik saja?" tanya Shun tak menunggu waktu berselang sedetik pun sejak dia dan perempuan paruh baya yang memanggilnya akhirnya saling berhadapan.

Alih-alih menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh remaja laki-laki itu, sang perempuan bermarga Fujimoto yang juga merupakan ibu dari Fumiko itu malah membuat gestur yang mengisyaratkan Shun untuk duduk dan menenangkan diri. Lantas mengatakan beberapa kalimat yang membuat diri sedikit tenang. "Tenang dulu, Izuki-kun. Fumiko tidak apa-apa. Dia hanya luka-luka saja."

Sedikit tenang, memang. Tetap ada kekhawatiran yang menghantui benak, apalagi menurutnya pernyataan "hanya luka-luka" masih terlalu luas dan lemah untuk menghempas rasa cemas. Lalu rasa khawatir itu berubah menjadi suatu keinginan. Keinginan yang menurutnya tak masuk akal, namun logis jika dia maupun orang-orang yang tengah berada di dekatnya sekarang memikirkan hal ini. Sebuah keinginan yang mengedepankan egonya sendiri.

Betul, egois adalah kata yang dapat mendeskripsikan Shun saat ini. Sebab dirinya kini ingin gadis bermarga Fujimoto yang sedang terbaring di ruang operasi itu, berdiri di hadapannya, memeluk pemuda itu dan berkata bahwa dirinya baik-baik saja.

.

.

.

"Izuki-senpai! Kok malah bengong, bagaimana menurut Senpai?"

Sejujurnya, ada rasa kasihan yang bersarang dalam hati pemuda itu saat melihat gadis di depannya. Perempuan muda itu terduduk di kasur miliknya dengan kaki yang masih terpasang perban dengan banyak tulisan ucapan cepat sembuh. Gadis yang masih duduk di tahun ketiga SMP, yang seharusnya kini tengah bebas bergaul dengan teman-teman sekelasnya. Bahkan mungkin interaksi pertemanan yang lebih luas lagi mengingat bagaimana sifat seorang Fujimoto Fumiko yang sangat mendukung perkembangan relasi yang dimilikinya. Ditambah perjalanan karir menjadi atlet yang mau tidak mau harus ditinggalkan. Bagaimana Shun bisa merasa tidak kasihan memikirkan semua itu?

"Iya, bagus, kok!"

Namun bukan sebab kasihan atau bagaimana dia memuji pertunjukan yang dilihat (atau didengar) beberapa waktu lalu. Sang elang hitam berkata jujur. Buktinya sekarang lelaki itu tersenyum dengan siratan penuh rasa syukur. Walau benar ia kasihan, karena memang yang sedang dihadapi oleh sang gadis adalah sebuah musibah. Akan tetapi tanpa terjadinya hal tersebut, diri tak akan bisa mendengar karya seni seadiktif ini membelai telinganya. Itulah bentuk keegoisan seorang Izuki Shun.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Artistique | ShunMiko [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang