"Aku pun tidak biasa melakukannya. Tapi ini momen istimewa. Kita tidak melakukannya setiap hari. Kalau begitu biar aku saja yang mengerjakannya. Akan kulakukan apa pun untukmu."

Wu Xie menyeringai, membuka saus tiram dan menuangkannya ke dalam potongan daging, lalu menambahkan saus pedas dan beberapa bumbu lainnya.

"Jangan terlalu banyak," tegur Zhang Qiling.

"Aku suka pedas. Jangan katakan kau cemas kalau-kalau aku sakit perut," tukas Wu Xie.

"Bukan itu masalahnya. Aku khawatir lidahmu akan semakin pedas karena itu."

Wu Xie menatap kosong sebelum menyadari bahwa itu adalah candaan.

"Sarkatis," gumamnya geli.
"Cocok denganmu."

Zhang Qiling tersenyum sekilas, berhenti sejenak sebelum memutuskan untuk memotong wortel. Saat dia melakukan itu, Wu Xie bertanya-tanya lagi mengapa dia bisa melakukan segala hal, bahkan setelah hidup sendirian dan tidak peduli akan situasinya sendiri. Semua ini tidak masuk akal baginya. Tapi kemudian menyadari bahwa Zhang Qiling selalu penuh kejutan.

Dia tersenyum, mengingat bagaimana dia dulu. Kuno, membosankan, sedikit bergairah, seperti yang dia bayangkan kebanyakan orang lanjut usia. Dan dia benar-benar seperti itu. Bakat maupun paras wajah artistik seperti miliknya adalah anugerah. Dia ingat melihat beberapa lukisan di museum di New York dan berpikir bahwa karya masterpiece sama uniknya dengan sosok sang kekasih.

"Kau sudah lapar?" Zhang Qiling bertanya, mengejutkan Wu Xie yang melihat pekerjaan memasaknya hampir selesai.

"Tentu. Aromanya menggiurkan."

"Bagus. Ini hampir selesai. Ada lagi yang kau inginkan untuk makan siang?”

"Tidak. Ini sudah cukup."
Dia tersenyum. "Aku tidak pernah membayangkan kau telah melakukan ini sepanjang hidupmu yang sendirian."

Dia bersandar di konter, berdiri dekat dengannya, dan mengosongkan cangkir tehnya. Ketika makanan sudah siap, bersama-sama mereka menuju meja makan di samping jendela, rumput dan pepohonan basah bisa terlihat dari sana. 

"Kau biasa duduk di sini sendiri sebelum aku datang, bukan?"

"Ya. Aku duduk di sini setiap siang dan malam. Itu sudah menjadi kebiasaan sekarang.”

"Aku bisa mengerti alasannya," katanya sambil melihat sekeliling.

"Liu Sang tidak pernah kemari?"

"Aku melarangnya." Zhang Qiling menyiapkan piring, sendok dan garpu, mengisi cangkir teh lagi untuknya dan Wu Xie.

"Mengapa?"

"Dia akan membuat kekacauan."

Wu Xie tertawa kecil, meneguk tehnya sedikit. "Dia menghibur."

"Omong kosong."

"Bagaimana dengan paman Rishan?"

"Sesekali dia akan datang untuk memintaku menyerah padamu."

"Dan kau tidak mematuhinya."

Zhang Qiling menghentikan gerakannya dan menatap Wu Xie, terheran-heran oleh cara pemuda itu mengajukan pertanyaan. Bagaimana dia bisa menanyakan hal yang sudah diketahui jawabannya dengan begitu naif?

"Itu mustahil," Zhang Qiling menjawab muram. Mulai menyuapkan potongan daging, dilihatnya Wu Xie nyaris membuka mulut untuk bicara lagi. Dengan sigap Zhang Qiling mengambil sepotong kecil daging, menyuapkannya ke dalam mulut Wu Xie.

"Jangan bicara hal konyol lagi," ia berkata.

Wu Xie cukup terkejut, akan tetapi dengan segera menikmati makanannya.

𝐅𝐢𝐫𝐬𝐭 𝐋𝐨𝐯𝐞 (𝐏𝐢𝐧𝐠𝐱𝐢𝐞) Where stories live. Discover now