_______
Juni-17-2020
Aku selalu punya masalah dalam mengontrol emosi.
Contohnya seperti saat kucingku yang nakal membuat barangku berjatuhan.
Aku sangat kesal dan memukulnya.
Lalu ibu membuangnya karna selama ini ia memang suka membuat masalah.
Menjatuhkan barang, naik keatas plafon, dan mengganggu saat kami makan.
Itu semua sangatlah mengesalkan.
Aku tidak ingin punya kucing seperti itu lagi!
Aku selalu berusaha keras untuk mengendalikan emosi.
Tapi seringkali aku gagal.
Aku mencoba menelusuri apa penyebab terbentuknya karakterku yang seperti ini.
Aku mengingatnya... Sejak kecil aku memang sering menerima makian dari ibuku.
Ia sering memarahiku dengan menunjukkan kesedihan dan perasaan terluka yang mendalam.
Seakan-akan semua masalah keluarga akulah yang menjadi penyebabnya.
Aku seringkali menjadi sasaran pelampiasan emosi ibuku disaat aku masih anak-anak.
Lalu saat aku berada dalam kondisi terpuruk karna peristiwa traumatis yang kualami, orang-orang disekitarku, terutama ibuku selalu menutup mata dan cenderung tak peduli.
Tidak ada dukungan mental, kepedulian, ataupun empati.
Semua kesedihan dan rasa sakitku, ditemggelamkan seperti itu akan sembuh dalam sekejap.
Saat aku diam, maka ibu juga akan bersikap biasa saja seperti tak terjadi apa-apa.
Pikirnya lukaku akan menghilang seiring waktu berjalan dan begitu saja terlupakan.
Naif sekali...
Rasa sakit itu justru membentuk duri-duri tajam yang menumpuk didasar hatiku dan melukaiku semakin dalam.
Aku tahu aku tidak boleh manja.
Karna itulah aku menjadi temperamental dan mudah marah.
Secara psikologis, aku berusaha menghalau apapun yang berpotensi akan membuatku kembali terluka.
Aku berusaha untuk hanya mementingkan perasaanku sendiri namun nyatanya aku tak bisa.
Aku justru terlihat seperti seorang pemarah yang segala ucapannya tak bisa dibantah.
namun tak seorangpun dari mereka yang menyadari bahwa itu semua hanyalah topeng yang kubangung untuk melindungi diriku agar tak semakin terluka.
Dan aku juga tak berniat memberitahu siapapun akan kenyataan ini.
Percuma saja bersikeras!
Hanya akan menyakiti diriku lebih dalam lagi.
Aku memang terlahir dengan hati dan perasaan yang teramat rumit.
Hingga aku harus berusaha keras untuk dapat hidup berdampingan dengan mereka yang wajar dan normal.
Sekali lagi, dan lagi.
Aku harus realistis dengan diriku karna memang inilah kenyataan dan juga takdirku.
_______
Juni-18-2020
Menjadi introvert itu sungguh....
Terkadang sulit juga saat harus memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah.
Kadang aku merasa tidak aman berada ditempat umum.
Dan lebih nyaman bagiku saat berada dikamarku.
Aku beruntung ibuku bukanlah seorang maniak sosial yang selalu mewajibkan seluruh anggota keluarga untuk tampil up to date didepan umum.
Melihat orang-orang saling bergunjing satu sama lain membuatku merasa trauma.
Bagaimana mereka bicara tentang orang lain, maka begitu jugalah cara mereka bicara tentangku.
Di depan kami saling bicara akrab satu sama lain.
Tapi dibelakang lain lagi ceritanya.
Aku tidak suka kepalsuan seperti itu.
Bagiku lebih baik baik tinggal dirumah daripada harus bicara buruk tentang ornag lain dengan sangat berlebihan.
Namun sifat introvert juga menjadi masalah.
Lingkungan menilaiku sebagai seorang anti sosial.
Termasuk juga seo jin.
Ia menganggapku sebagai seorang yang overthink dan suka mengurung diri dirumah.
Padahal seingatku, dulu seo jin juga sama sepertiku.
Namun ia berhasil keluar dan bergabung dengan komunitas lingkungan sosial yang ia anggap adalah sebuah keberhasilan.
Mungkin itu benar.
Namun tidak seharusnya ia menganggapku gagal.
Bagiku itu sangat egois dan tak berempati.
Bagaimanapun, aku harus tetap menjalani hidupku meski aku sangat kontras dari lingkunganku.
Aku harus tetap bertahan meski aku harus menghadapi begitu banyak pertentangan.
_______
Juni-19-2020
Kemarin, hujan turun dengan sangat lebat.
Aku berdiri didepan jendela dan merasakan pias embunnya mengenai wajahku.
Hujan turun dengan sangat lebat diluar sana.
Dan betapa inginnya aku main hujan-hujanan seperti aku kecil dulu.
Namun bagiku yang sekarang, terkena hujan gerimis sedikit saja sudah mampu membuatku demam.
Aku sangat rapuh sekarang hingga hujan lebat seperti itu akan sangat berbahaya bagiku.
Ada perasaan sedih yang menyeruak dalam hatiku saat aku melihat hujan.
Apakah masih ada kesempatan bagiku untuk bermain dengan hujan seperti masa kanak-kanakku dulu?
Entahlah....
Dengan keadaanku yang sekarang, semua masih terlihat begitu abu-abu.
Aku terus mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku harus kuat.
Aku harus bisa menerima kenyataan dan move on.
Tapi seringkali aku terjatuh.
Aku terus terjatuh sebanyak aku mencoba untuk berjalan dengan tubuh yang lemah ini.
Aku seringkali menangis diam-diam.
Aku merasa seperti tak bisa bertanggung jawab atas kata-kataku sendiri.
Aku menyesal karna seringkali kehilangan kontrol terhadap diriku.
Kesedihan dan kemarahan....
Semua itu seakan menyeruak begitu saja dari hatiku.
Kadang aku merasa sangat lelah.
Namun tetap saja, waktu terus berjalan tak terhentikan.
Aku juga terus merasa kesepian.
Aku tak punya cukup tenaga untuk bergabung dalam komunitas sosial dan tak seorangpun juga yang mau mendatangiku dan berteman denganku yang terpuruk didasar kehidupan.
Maka jadilah aku sendirian.
Menanggung beban berat bernama penyakit berkepanjangan.
YOU ARE READING
Waiting For A Change
RandomIni tentang diriku. Tentang aku. Tentang ceritaku. Tentang marahku, kesepianku, kecewaku. Juga tentang sedih, hampa, dan kebingungan yang membuatku nyaris kehilangan arah. Ini kisahku... hanya deretan kalimat yang berasal dari buku harian yang menja...
Part: 01
Start from the beginning
