Bab 1

18 2 2
                                    

Tanpa AC yang menyala dalam mobil membuat seseorang bersungut-sungut akibat kegerahan. Pagi di Jakarta tidak seperti di pedesaaan yang masih tersedia udara sejuk. Belum lagi, kemacetan lalu lintas menjadikan kadar kesabaran menurun. Meski jendela terbuka di kedua sisi kanan kiri bagian depan, angin yang berembus tidak banyak membantu. Justru, aroma asap dari kendaraan ikut melintas terbawa udara.

Farah, cewek berwajah bulat dengan rambut tergerai sepunggung yang bergerak-gerak tertiup angin, terdapat bandana berhias pita merah di atasmya, sedang mengipas-ngipas wajah dengan buku motif kotak-kotak merah. Dia memiliki kulit cerah dan bersih tanpa riasan tebal. Bibirnya lembab dan kemerahan.

"Papa, sih, lama siapnya. Kita jadi kena macet, kan. Mana panas. Kapan Papa mau betulin AC-nya?" protesnya sambil mengibaskan kerah seragam putih berdasi. Ketika sedang dalam mood buruk, cewek itu mengembungkan pipi.

"Kalau Papa libur, Sayang. Sebentar lagi sampai. Kamu masih mau cemberut?" Adrian, laki-laki berusia 35 tahun, masih terlihat tampan. Dia memakai kemeja biru muda yang dibalut jaket kulit hitam. Dia membelokkan setir ke kiri agar menepi lalu memarkirkan mobil tidak jauh dari pintu gerbang SMA Satu Bangsa.

Farah buru-buru memasukkan buku ke tas. Dia merapikan penampilan sambil memandang spion tengah. Dia membentuk senyuman agar semenarik mungkin.

"Aduh, putri Papa sudah cantik. Nggak perlu lagi ngaca lama-lama."

"Biarin, sih, Pa. Kan Papa harusnya seneng kalau Farah banyak yang suka." Farah menjauhkan pandangan dari cermin lalu menjulurkan tangan untuk berpamitan.

Adrian memberikan tangan agar sang putri menciumnya. "Baik-baik ya di sekolah. Papa nggak mau kamu kenapa-kenapa."

"Iya, Pa. Lagian Farah sudah kelas sebelas. Farah bisa jaga diri kok." Farah kemudian membuka pintu mobil.

"Far, salam buat Bu Citra." Adrian tersenyum.

Farah yang mau menggerakkan kaki segera menengok kembali ke papanya sambil memelotot. Pipinya kembali mengembung. "Nggak mau. Farah nggak mau Papa deket-deket Bu Citra."

Adrian tetap tersenyum lalu membiarkan Farah turun dari mobil. Dia sedikit terkejut ketika putrinya itu membanting pintu. Setelah mengembuskan napas pelan, dia mulai menjalankan mobil, meninggalkan Farah yang masih mematung.

Farah berdiam sejenak untuk meredakan gejolak emosi yang hampir meluap. Dia masih kesal dengan papanya yang menaruh hati pada salah satu guru di sekolah. Dia senang tinggal berdua saja dengan sang papa karena ibunya sudah lama meninggal saat dirinya masih sekolah dasar. Maka dari itu, dia tidak mendukung keinginan papanya itu.

***

Tiada hari tanpa berisik di kelas XI IPS 2 sebelum bel masuk berbunyi. Farah lekas berjalan ke tempat duduk yang berada di tengah barisan kedua. Dia berbadan kurus berbalut seragam putih abu-abu panjang yang sesuai dengan ukurun tubuh. "Pagi, Nana. Pagi, Sasa," sapanya sambil duduk di kursi depan meja Riana, siswi berbadan gemuk, dan Sarah, siswi berbadan lebih gemuk sedikit darinya. Dia melebarkan senyum.

Riana dan Sarah membalas sapaan Farah. "Pagi, Farah."

"Saga belum datang?" tanya Farah sambil menengok ke seisi kelas.

"Belum. Lo mah yang dicari Saga terus," protes Riana. "Bentar lagi juga paling orangnya dateng. Lo udah kerjain PR."

"Makanya gue cari Saga, Na. Kan biasanya dia udah selesai. Gue mau cocokin PR gue sama dia."

"Pinter juga lo." Riana meledek.

"Pinter nyontek," tambah Sarah yang kemudian membuat Riana tergelak.

"Ihh. Apa-apan, sih, kalian." Farah berlagak cemberut. Dia kemudian segera kembali bersikap manis saat melihat seseorang yang dicari masuk ke kelas.

Sejak kelas XI, Farah dan Saga duduk bersebelahan dengan satu meja. Saga yang mudah akrab tidak keberatan duduk berdekatan dengan Farah.

"Lo udah ngerjain PR Matematika, Ga?" tanya Farah setelah Saga menduduki kursi dan menaruh ransel di meja. "Gue lihat dong."

"Soal PR lo cepet banget mau nyontek, Far. Gue baru juga sampai." Saga membuka ritsleting ransel. Cowok itu berwajah oval dengan dagu sedikit lancip. Rambutnya dipotong rapi dengan poni yang kadang menjuntai di tengah. Dia tidak heran dengan teman semejanya itu.

Farah memang cantik dan menyenangkan, tapi pelajaran Matematika bukan sesuatu yang mudah dikuasai oleh cewek itu. Meski sering selesai mengerjakan PR, Farah masih harus mencocokkan dengan milik Saga agar bisa memperbaiki jawaban yang kurang tepat. Tidak hanya Farah yang menguasai buku tugas Saga, Raina dan Sarah juga kadang berebut dengan cewek itu.

Syukurlah, mereka masih selamat karena berhasil selesai tepat bel masuk berbunyi. Farah tidak ingin sampai di hukum. Tidak lama kemudian, Bu Citra, guru Matematika, yang berusia tiga puluh tahun memasuki kelas. Wajahnya kelihatan lebih tua dari usianya karena sering berekspresi serius saat mengajar. Namun, badannya cukup ideal dan juga tinggi.

Mengingat sang papa yang menyukai guru itu, Farah sedikit berwajah masam dan cemberut.

"Lo kenapa?" tanya Saga saat melihat Farah diam.

"Gue ... gue nggak apa-apa kok." Farah segera mengembalikan senyuman. Tidak boleh kesal.

"Yakin lo, Far?"

"Iya. Udah jangan berisik. Nanti kita kena semprot lagi."

Saga pun mengangguk lalu kembali melihat buku pelajaran sambil mendengarkan ucapan Bu Citra.

***

Farah, Riana, dan Sarah makan siang di kantin dengan menu mi rebus. Farah dan Sarah memberikan sebagian mi kepada Riana agar bisa mengurangi porsi makan mereka.

"Saga mana, ya? Kok dia belum ke sini?" Farah memperhatikan jalur masuk kantin.

"Nanti juga ke sini. Gue juga makan belum abis. Lo pesen minum aja dulu gih." Riana berucap sambil mengunyah mi.

"Oh iya, gue belum minum. Pantesan masih kepedesan. Ayo, Sa, kita beli minum. Biar Nana yang tunggu di sini." Farah pun berdiri lalu menjauh dari Riana diikuti Sarah.

Mereka berada di kantin saat jam ramai. Ketika memesan, mereka harus berdesakan dengan yang lain. Setelah berhasil menerima pesanan dan membayar, tiga gelas es teh manis, mereka segera kembali. Farah memegang satu gelas mikirnya, sedang Sarah memegang dua gelas. Sarah cukup berhati-hati saat membawanya. Namun, Farah berjalan lebih cepat karena melihat Saga sudah duduk di depan Riana.

Tanpa diduga, Farah bersenggolan dengan seseorang yang mengakibatkan gelas di tangan menumpahkan cairan ke seragamnya. Dia meremas gagang gelas saat menyadari pakain sudah basah.

"Lo kalau jalan, makanya yang bener. Pakai mata dong. Buru-buru banget." Cewek yang menyenggol Farah justru bersuara keras.

Seketika Farah memelotot ingin membalas ucapan cewek itu dengan sama kerasnya. Namun, dia masih sadar sedang berada di keramaian. "Harusnya lo minta maaf." Farah menunjukkan sedikit wajah kesal, tapi ucapannya berusaha sesantai mungkin. "Gue punya mata kok. Lo bisa lihat sendiri. Tapi gue jalan pakai kaki ya bukan pakai mata. Gara-gara lo, kan, ini ya seragam gue jadi basah."

"Cuma basah segitu doang. Makanya pegang gelas yang bener. Oh ya, gue nggak mau minta maaf. Karena gue ngerasa nggak salah. Lo yang perlu minta maaf."

Farah memutar bola mata, kesal. Tidak boleh marah. Saga sedang ke sini. Lo tenang ya. Dia segera mengembangkan senyum meski sedikit tidak nyaman. Namun, dia juga bingung harus melakukan apa ketika Saga nanti berada di dekatnya.

=============================================

04 April 2023
Beauty and Badness
Dedew Lan Hua

Jumlah kata: 1091

Beauty and BadnessWhere stories live. Discover now