07

340 75 16
                                    

Tidak pernah Juna kabarkan kepada siapapun tentang kenihilannya dari kampus, dua hari belakangan. Termasuk juga, perempuan yang berdiri di depan pintu apartemennya sekarang. Juna sudah cukup dibuat kaget dengan keberadaan Aca.

Lebih-lebih kaget, manakala Aca tiba-tiba meletakkan punggung tangannya di dahi.

"Tuh 'kan demam."

Bukan dahi sendiri. Tentu, dahi Juna.

Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah hampir lebih dari sebulan mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Lebih tepatnya, setelah Juna membuat mereka menjadi masing-masing.

Belum.

Belum ada kata putus terucap dari mulut Juna maupun Aca. Tapi, Juna memang sudah ada niat dalam waktu dekat.

"Kenapa nggak ngabarin kalo sakit?"

"Nggak pengen bikin kamu khawatir."

Alasan klasik diberikan.

"Tiap hari juga kamu bikin aku khawatir."

Juna pikir, Aca akan memutus obrolan setelah alasan diberikan. Namun, ternyata tidak.

"Khawatir soal apa?"

Aca letakkan semangkuk sereal dan susu putih yang dibuat dadakan. Kursi ditarik, ia dedikasikan untuk Juna, tapi Juna malah menarik kursi yang lain. Aca cuma bisa mengulum senyum. Juna seperti membuat benteng tinggi di antara mereka berdua.

Obrolan putus sampai di sana.

"Obat demam yang waktu itu aku taruh masih ada, kan?"

Aca sibuk mengorek-orek isi kotak obat. Juna sibuk makan.

"Kayaknya masih."

Kata Juna begitu, tapi Aca tidak temukan. Jadi, bergegas perempuan itu pergi. "Aku ke apotek bentar."

Juna ditinggalkan. Keheningan memaksa laki-laki itu merenungi sikapnya akhir-akhir ini. Apakah yang ia lakukan sudah benar? Apakah Aca sungguhan menginginkan perpisahan di antara mereka?

Jangan jauh-jauh ke Aca, deh.

Juna dulu. Apakah Juna sungguhan ingin melepaskan Aca?

"Obat yang biasa, enggak ada di apotek depan. Jadi, harus jalan agak jauh ke apotek sebelahnya."

"Kamu jalan?"

Apakah sebetulnya selama ini Juna yang menutup mata atas usaha keras Aca?

Setelah diberi anggukan, Juna dikerubungi perasaan bersalah. "Jauh, loh. Padahal."

Tidak ada tanggapan. Aca hanya segera mengambilkan Juna segelas air, berikut memberi sebutir obat.

"Diminum, Juna!"

Memang agak lama Juna hanya memandang benda di telapak tangannya sebelum titah Aca membuat laki-laki itu segera bertindak. Aca bereskan dan bersihkan gelas dan mangkuk kotor setelah Juna dipastikannya kembali berbaring dengan nyaman di atas kasur.

Kantuk menyerang Juna. Ia terlelap dan bangun saat hari telah petang.

Aca, masih Juna temukan ketika membuka mata. Duduk di sebelahnya, di atas ranjang. Jemari tangan Aca berlabuh di kepala Juna, mengusap-usap pelan surai di sana. Perlakuan sederhana yang membuat Juna merasa seperti disayang sungguhan.

Juna ambil tangan Aca itu. Ia usap dan ia hirup aroma harumnya. Seperti tidak akan pernah ada kesempatan untuk melakukan hal yang sama.

"Kamu sayang aku, Jun?"

"Sayang."


"Tapi, kenapa sama yang lain?"

[]

SEANDAINYA KITA SADAR SEJAK AWAL KITA BUKAN SEPASANG [END]Where stories live. Discover now