Bab Dua Belas

94 22 6
                                    

"Lo yakin mau pisah dari dia? Kok lo nyerah sih! Bukannya lo pengen banget dan berprinsip kalau menikah itu cukup satu kali seumur hidup. Sekarang malah tumbang."

Perkataan Hana terus berdengung di telinga. Membuat Fahma yang sudah jelas-jelas membulatkan keputusan untuk berpisah, kini kembali goyah.

Ya, Fahma masih ingat betul akan perkataannya sendiri yang hanya ingin menikah sekali dalam seumur hidup. Lagi pun, siapa yang ingin mengulang luka lama di dalam pernikahan hingga adanya perceraian. Tak ada yang mau, kecuali memang nasib dan takdir yang mengharuskan itu.

Fahma juga tidak sedang menunjukkan bahwa dirinya lemah. Hanya saja, lelah sudah begitu kuat menjamah sampai hati sudah remuk bak pecah tak dapat berbenah. Dari tempat teduh yang ia anggap sebagai rumah, nyatanya tak lebih dari tempat singgah yang sama sekali tak ramah.

"Ini sudah menjadi keputusan terbaik Fahma." Wanita itu bergumam sekali lagi. Mencoba menguatkan diri karena yang menjadi pilihannya merupakan pilihan yang benar meski akan sulit di awali.

.
Langit sudah sepenuhnya menggelap, Fahma masih di luar, duduk di taman dekat kompleks perumahan. Wanita itu masih berkutat dengan pemikirannya sendiri. Apakah harus segera keluar dari sana, atau nanti saja.

Akan tetapi, jika terus berada di antara atap yang sama. Itu hanya akan menimbulkan luka yang ada kian menganga.

"Ya, malam ini juga harus segera beres-beres. Lalu pergi esok pagi. Ini harus secara baik-baik, mau bagaimana pun caranya." Ia lagi-lagi bermonolog sendiri.

Lantas setelah itu, kembali menegakkan kedua kaki dan mulai membawa tubuhnya sendiri menuju rumah sang suami.

Hampir lima belas menit berjalan, Fahma sampai ke tempat tujuan. Wanita itu tidak langsung masuk melewati pintu pagar. Namun berdiam diri selama beberapa menit, entah apa lagi yang ia pikirkan?

Yang pasti, tiba-tiba ada isak tertahan dari perempuan itu sewaktu berdiri di depan sana.

"Aku menyayanginya, itu tidak bisa dipungkiri. Namun, bertahan bersamanya, sama saja itu hanya menyakiti diri sendiri. Aku bukan budak cinta yang rela dilukai sesuka hati. Hidup ini harus tetap pada realita, jika memang harapan itu sudah tidak ada. Ya, sudah. Tidak apa-apa, aku tidak akan mati begitu saja hanya karena memutuskan perkara ini. Mungkin resikonya hanya sedikit rindu, lama-lama juga bisa lupa." Ia tetap berucap pada diri sendiri.

Walau begitu berat, Fahma yang menunduk dan terus mengusap pipi beberapa kali. Di antara temaramnya malam, wanita itu kembali mengangkat kepala. Berdiri tegak dengan niat yang sudah bulat, Fahma berjanji bahwa dirinya tak akan mundur dari keputusan ini.

.
                                  ***

"Kok baru pulang?" Seseorang menyapa Fahma sewaktu ia baru saja menutup pintu.

Dengan serupa wajah yang sendu, Fahma mencoba menunjukkan senyum. Ini kali terakhir dirinya ada di sini, dan ini kali terakhir juga untuk dirinya melayani suaminya. Dalam artian menyiapkan segala sesuatu yang seharusnya seperti awal ia berstatus istri dari laki-laki itu.

"Sehabis ujian, ada rapat di sekolah lain, Mas. Sedikit telat karena diajak Hana jalan-jalan dulu," bohongnya.

"Oh!" sahutnya singkat seraya mengangguk-angguk.

"Saya naik dulu, ya, Mas. Gerah," pamit Fahma.

"Nggak makan dulu? Ini sudah lewat makan malam, loh." Ucap lelaki itu.

Fahma jadi terheran-heran dibuatnya. Sejak kapan pria itu peduli terhadap dirinya. Apa lagi urusan makan begini.

"Mmmm, saya udah makan bareng Hana tadi," ujar Fahma lagi-lagi berbohong. Padahal dirinya belum makan lagi sejak tadi siang.

Pundak Adiyaksa mendadak layu sesaat setelah mendengarkan itu. "Yaah, padahal aku nungguin kamu."

"Maaf ya, Mas. Soalnya kan biasanya Mas jarang makan di rumah," tukas Fahma justru membuat hati Adiyaksa terasa tercubit.

"Its oke, nggak apa-apa kalau gitu," pungkas lelaki itu sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.

"Saya naik dulu, ya Mas." Pamit Fahma sekali lagi, dan hanya dibalas anggukkan oleh Adiyaksa.

.
Fahma menyandarkan punggungnya pada sekat kayu bernama pintu itu. Air matanya lagi-lagi menetes deras. Rasanya tidak habis pikir kenapa harus secengeng ini? Sebelum-sebelumnya dirinya begitu kuat dan sanggup melawan apa pun yang terjadi, tapi ini.

"Ayo Fahma yang kuat. Nggak apa-apa kehilangan, suatu saat sakit ini akan lenyap secara perlahan-lahan. Bukankah sudah menjadi fasenya manusia, mau seperti apa keadaanya, yang namanya kehilangan pasti akan dirasakan oleh setiap nyawa." Perempuan dalam balutan seragam guru itu tak berhenti terus menguatkan hati.

Setelah puas atraksi peperangan antara hati dan pikiran yang belum kunjung usai. Fahma berdiri lagi, ia kemudian menyimpan tas yang biasa dipakainya untuk bekerja. Lalu meraih handuk yang terdapat dibelakang pintu.

Langkah kakinya menuju ke kamar mandi, sekadar membersihkan diri lalu setelah itu mengepak pakaian dan beberapa barang miliknya, lalu setelah itu pergi tidur.

Tidak usah turun ke bawah. Tidak perlu menemui suaminya lagi. Biarkan saja dia, besok baru bicara tentang ini, tentang keinginannya untuk mengakhiri rumah tangga.

.
Nyaris dua puluh menit berlalu, Fahma nampak segar setelah keluar dari dalam ruang lembab itu. Dengan hanya berbalutkan handuk berukuran jumbo melilit bagian dada sampai bawah lututnya. Fahma berjalan menuju lemari.

Namun begitu membukanya, dirinya tercengang sebab tak menemukan satupun pakaian miliknya.

"Kemana semua bajuku? Ah, mungkin ada di pintu satunya lagi." Begitulah pikirnya.

Kendati tetap sama, bahkan almari yang terdapat tiga pintu itu benar-benar tak lagi memuat satu helai potongan kain berikatkan benang itu di sana.

Perempuan itu terus saja berpikir keras. Karena seingatnya, semua pakaiannya tetap ada di sana, tersusun dan tergantung rapi. Bagaimana bisa sekarang tiba-tiba hilang. Mana mungkin kan, ada maling sebegitu rajinnya membawa seluruh bajunya. Sementara ada begitu banyak benda berharga di rumah ini.

Dengan lutut melemas, Fahma duduk di atas ranjang. Dia, tidak mungkin keluar kamar dalam keadaan seperti ini. Namun, dirinya juga tidak mau mati kedinginan hanya karena tidak berbaju.

.
Diputaran waku yang terus berlalu, Fahma berjalan mengendap-endap keluar dari kamarnya. Jangan tanyakan bagaimana wajahnya sekarang, menahan malu dan jengkel secara bersamaan.

Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Takut ketahuan oleh orang, meski di rumah itu hanya dihuni oleh dirinya bersama sang suaminya saja.

.
Tapak kakinya terus menapaki menuruni anak-anak tangga. Fahma menemukan Adiyaksa sedang duduk dengan tangan menggenggam remote televisi. Merasa waswas dan ragu, tetapi mau tidak mau, Fahma harus melakukan itu.

.
"Mas, bajuku hilang dari lemari." Adunya tanpa basa-basi.

Adiyaksa menoleh ke asal suara. Auranya begitu tenang, tidak ada keterkejutan sama sekali saat mendapati istrinya hanya dengan memakai handuk saja.

"Ada di kamarku," jawabnya enteng.

"Hah! Tapi?"

"Mulai malam ini, kita akan menjalani semua seperti yang seharusnya." Pungkasnya masih dengan raut meyakinkan.

Fahma melongo di tempatnya. Bagaimana bisa seperti ini? Kenapa realita selalu saja menghancurkan segala ekspekstasinya.

.
Bersambung ....

Oh, iya. Ada kabar baru lagi loh, Fahma versi book nanti ada tambahan bonus dua Bab. Jadi total 19 Bab🥰

Nantikan terus informasinya, yagesya🥳

(Bukan) Perempuan Pilihan|| SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now