°°°

1 0 0
                                    


November sedang gemar-gemarnya membumikan rahmat semesta untuk para makhluk-Nya. Melalui rinai hujan yang dari semalam tak kunjung mereda. Maka dengan terpaksa sebagian makhluk hidup menjalankan kegiatannya sembari berteduh untuk menghindari hujan karena beberapa alasan. Seperti gadis di dalam ruangan dengan bau obat-obatan, terus-menerus memantau derasnya hujan yang turun dari balik jendela kayu bercat putih mengkilat. Raut wajahnya menampilkan rasa tidak suka dengan kentara.

"Aku membenci hujan." Mukanya tertekuk. Hujan membuatnya tidak bisa bebas untuk pergi menjelajahi alam luar.

Sosok laki-laki yang duduk pada sofa sudut ruangan menghampirinya. Buku yang semula dibaca olehnya diletakkan begitu saja, segera menghampiri gadis tersebut.

"Kamu lahir di bulan hujan, Niscala," sahut lelaki tersebut. Senyum selalu membingkai wajahnya saat bersama gadis itu.

"Niscala. Teman hidupku." Napas hangat lelaki itu menerpa daun telinganya.

Niscala bergeming. Raut mukanya menjadi sendu. Pada sudut kecil hatinya, ia tidak baik-baik saja. Gadis itu enggan menatap wajah Shaka.

Niscala hanya tidak ingin mengingat bahwa waktu yang dimilikinya tidak banyak lagi. Shaka adalah manusia yang baik untuknya.

Telapak tangan Shaka bertengger pada sisi wajah gadis miliknya. Maka secara alamiah, pandangan kedua manusia itu bertemu.

Shaka dengan mimik wajah yang senantiasa cerah dan Niscala dengan pandangan sendu menatap manik cokelat gelap lelaki itu.

"Ingin melihat hujan?"

Begitulah Shaka yang ia kenal. Sang penyair kota yang selalu membawanya mencoba hal yang paling tidak ia suka –bersama.

Tangan besar lelaki itu menggenggam erat tangan ringkih gadis di sebelahnya. Bahkan tanpa segan memasukkan jari-jarinya memenuhi sisi-sisi rumpang pada tangan gadisnya. Melangkah beriringan, melewati lobi-lobi rumah sakit yang tidak begitu ramai akan manusia.

Lalu langkah mereka berhenti pada satu titik, dimana mereka bisa melihat hujan yang dengan sukarela menjatuhkan dirinya pada bumi.

Shaka dapat melihat hujan dengan leluasa. Sedangkan gadisnya hanya menatap wajah Shaka yang terlihat bergembira.

"Shaka," panggil Niscala lirih.

Pria itu menoleh, tetap dengan senyum yang senantiasa terpatri di wajahnya. Sungguh, ia tahu bahwa sebenarnya pria itu tidak pernah baik-baik saja.

"Ayo duduk!"

Shaka menuntun Niscala, mengajaknya duduk pada bangku yang biasa ditempati oleh pengunjung rumah sakit.

Shaka rela melepas jaket cokelat tua miliknya, menyampirkannya untuk menghangatkan Niscala. Kaos putih berlengan pendek itu sudah lebih dari cukup baginya.

"Bagaimana hujan?" tanya Shaka.

Pandangan Niscala mengabur oleh air mata kala melihat Shaka begitu tulus menyayangi dirinya.

"Aku takut, Shaka." Suara gadis itu bergetar lirih. Derasnya hujan kala itu meredam perasaan Shaka yang membuncah.

Lagi, lagi Shaka hanya tersenyum. Menariknya ke dalam dekap hangat di tengah dinginnya hujan. Ia tahu apa yang ada di pikiran gadisnya. Dan sebenarnya, dia juga merasakannya.

Pada akhirnya Shaka hanya menjerit tertahan dalam hatinya. Satu tetes air mata saat merengkuh gadisnya yang berlarut kesedihan.

Shaka takut jika Niscala benar-benar terbang jauh. Meninggalkannya.

"Aku memelukmu, Niscala. Selalu."

•••

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 25, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SemayamWhere stories live. Discover now