CHAPTER 8 BONEKA TERDIDIK

7 0 0
                                    

Sebuah pesan singkat via Whatsapp masuk ke telepon genggam milikku. Pesan dari Rian di grup.

"Ngumpul di warkop tempat biasa yok," demikian bunyi pesannya.

Ku balas singkat "OK".

Pukul 08.00 aku telah sampai di parkiran warkop tempat kami biasa nongkrong mengerjakan banyak hal. Dari mulai mengerjakan tugas kampus hingga sekedar numpang menggunakan wifi berbekal pesanan segelas kopi. Ku lihat motor Rian telah terparkir terlebih dahulu.

"Sendiri aja. Qia mana ?" aku menyapa Rian yang duduk memandang kosong ke arah layar laptopnya.

"Eh Riki. Seharusnya aku yang bertanya sama kamu, Qia mana ?"

Di grup itu memang hanya kami bertiga. Aku, Rian dan Qia. Namun beberapa hari ini Qia tak pernah muncul di grup.

"Ah mungkin dia sibuk membantu Ibunya," Rian kembali menimpali ucapannya sendiri.

Baru saja pesanan kopi hitam kami datang, -kopi hitam sering menemani kami begadang malam- sebuah mobil sport tampak memasuki halaman warkop. Aku ingat sekali, mobil itu adalah mobil yang sama yang memasuki kampus sore tadi. Aku ingat betul branding yang ada di kaca depannya.

Aku melihat seseorang yang tak asing wajahnya turun dari mobil melalui pintu sisi kiri, sementara dari pintu sebelah kanan, wajah yang bahkan ku kenali namanya juga ikut turun. Rian yang menyadari hal yang sama, nyaris saja tersedak kopi yang hendak ia minum.

Dua orang itu segera mengambil tempat duduk yang berada persis dibelakang kami. Kami hanya dibatasi oleh partisi kayu. Kami yang berada di pojok dengan cahaya yang cukup remang-remang sehingga sulit bagi orang yang berada di seberang untuk melihat kami dengan jelas. Sebuah keberuntungan.

Aku dan Rian seolah satu pemikiran. Tentu saja kami tak bisa mengeluarkan suara yang terdengar ke meja sebelah kami itu. Salah satu dari dua orang ini tentu saja sangat familiar dengan suara kami. Rian kemudian mengetikkan sesuatu pada ponselnya, lalu memperlihatkannya padaku.

"Orang itu adalah Wakil Ketua Yayasan."

Aku menelan ludah membaca tulisan itu. Kopi pahit di depanku seakan tak ada pahitnya dibanding apa yang mulai tergambar dipikiranku. Namun masih ku coba untuk menghubungkan peristiwa demi peristiwa. Sebagai mahasiswa, aku tentu tidak ingin gegabah dalam menarik kesimpulan.

"Apakah ini ada kaitannya dengan aksi kami beberapa hari terakhir ? Apakah ini ada hubungannya dengan masalah keuangan kampus ?" Tanda tanya begitu banyak menyeruak di benakku.

Lima belas menit berlalu tak terdengar obrolan yang cukup serius dari kedua orang yang ada di meja sebelah tersebut.

"Ah mungkin saja kita yang terlalu negative thinking," sebuah pesan ku kirimkan pada Rian via WhatsApp.

"Iya mungkin saja," balas Rian.

Aku dan Rian bersepakat untuk mulai bersuara, meski tak keras. Lucu juga rasanya berkomunikasi lewat WhatsApp sementara kami saling berhadapan. Seperti detektif saja.

"Kamu ada flashdisk ?"

"Ada," jawabku sembari merogoh saku celana. Flashdisk memang sering ku gantungkan bersama dengan kunci motorku.

Aku sedikit kaget. Kunci motorku tidak ada di sakuku. Aku menepuk jidat.

"Sial, kunci motorku tertinggal di parkiran" aku mendengus.

"Ambil sana. Nanti motormu tinggal cerita," kata Rian sedikit tertawa.

Sial benar. Aku harus memilih, harus terus diam atau harus mengambil kunci motorku di parkiran dengan konsekuensi melewati meja seberang yang sedari tadi kami coba bersembunyi darinya. Aku berdiri, tak ada pilihan terbaik selain mengambil kunci motorku yang tertinggal di parkiran. Warkop ini tidak memiliki tukang parkir, sehingga potensi kehilangan akan sangat besar.

Baru saja aku berdiri, dibalik wajahku yang sedikit samar-samar terkena lampu dengan cahaya yang relatif redup, seorang yang ku kenal lainnya memasuki pintu warkop. Belum sempat ku langkahkan kaki, dia telah melihat ke arahku. Sedikit tersenyum, meski tak seperti biasanya.

"Halo Riki," dia menyapaku.

Orang dari meja seberang pun dengan segera berbalik badan.

"Eh Riki kamu nongkrong di sini juga," sapa Pak Ferdi.

"Iya Pak," jawabku singkat.

Pak Ferdi berdiri, melirik ke meja kami.

"Oh kamu sama Rian," kata Pak Ferdi setelah melihat Rian.

"Selamat malam Pak," sapa Rian. Rian terlihat sangat kaku. Oh begini rasanya tercyduk, seperti istilah yang banyak digunakan generasi millenial dan generasi Z zaman ini.

Ah mengapa pula Qia menyapaku. Bukankah biasanya dia hanya langsung duduk di kursi, lalu memesan segelas kopi. Ini benar-benar sial. Kunci motor dan sahabat menjadi sumber kesialan hari ini.

Tak banyak yang bisa kami lakukan. Aku dan Rian harus segera bersikap biasa saja. Seolah pertemuan ini hanya kebetulan. Eh bukannya ini memang kebetulan yang berakhir dengan penyelidikan, meski kini hampir pasti tak akan menemukan apapun karena keberadaan kami telah diketahui.

Waktuyang singkat terasa begitu panjang. Oh begini rasanya dunia lambat berputar? Ahseperti ini kalau rotasi bumi sedang tidak bersahabat?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 11, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SEMANIS GULALIWhere stories live. Discover now