"Jika Midoriya bangsawan yang menikah dengan Bakugou-sama, aku masih bisa sesekali datang untuk mengaguminya di istana, seraya menerima keadaan dan membiasakan hatiku untuk dapat terbuka dengan perempuan lain. Tapi Midoriya yang kini dalam lindunganku bisa saja lepas kapan saja. Kalau sampai aku kehilangan dia, aku tak akan punya kesempatan untuk bisa membuka hati pada perempuan lain. Aku akan begitu terluka."

"Shouto."

"Maka dari itu, aku akan menggunakan waktu yang kupunya. Sebisa mungkin aku akan bersamanya. Kalau dia pergi aku masih akan terluka, tapi setidaknya aku tidak akan begitu kecewa karena sudah mengambil kesempatan untuk bisa bersamanya."

Iida terdiam menatap pada tuannya itu. "Baiklah, aku mengerti." Pengawal itu tersenyum kecil. "Kau bukan tengah mempermainkan Midoriya atau menantang calon kaisar, jadi aku akan membiarkanmu."

"Terima kasih."

"Tapi aku terkejut kau membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi."

"Aku sebenarnya tidak ingin, tapi aku masih manusia biasa yang tidak bisa mengendalikan segalanya. Sebisa mungkin aku akan lindungi dia, berharap situasi tidak akan semakin memburuk setelah semua yang terjadi."

"Benar, kita memang hanya bisa berbuat semampunya." Iida melihat keluar jendela. "Sudah hampir waktunya, bukan? Janji temu kalian."

Todoroki mengangguk. "Aku akan gunakan pakaian ini."

Iida menghela napas lagi. "Akhirnya, sampai kau berganti ketigabelas kalinya, aku sudah berniat akan pergi dari ruangan ini."

"Haha, sana pergilah dan minta pelayan siapkan semuanya."

"Bagus, baru sekarang aku diusir. Kenapa tidak sejak tadi, jadi aku tidak harus bosan melihatmu terus berganti baju."

"Hei, itu perintah."

"Ya, ya."

.
.
.
.
.

Todoroki berdiri di depan pintu ruangan yang Iida sudah minta pelayan siapkan sebagai acara jamuan teh kecil bagi dia dan Midoriya.

Setelah merapikan pakaiannya sekali lagi, Todoroki berdeham pelan.

"Midoriya, ini aku."

"Masuklah."

Todoroki membuka pintu dan tersenyum kecil melihat Midoriya yang duduk membelakanginya di depan meja pendek. Namun saat gadis itu menoleh menyambutnya, Todoroki terdiam.

Midoriya tersenyum. "Apa kau tidak akan masuk?"

"Uh-oh, ya...?" Todoroki mengerjap, melihat sekitar dengan kikuk. "Y-ya, aku akan masuk." Dia melangkah ke dalam dan menutup pintu.

Dia sempat tersandung kecil, membuat Midoriya bergumam untuk memintanya berhati-hati. Dengan senyum kaku, Todoroki duduk di seberang Midoriya pada meja bulat pendek.

"Kau baik-baik saja? Kau terlihat agak kurang fokus dengan jalanmu tadi."

Todoroki mengangguk kecil. "Ya, aku hanya..." dia sekali lagi melihat pada Midoriya dan berdeham kecil. "...tidak menduga kau akan berdandan..."

"Oh, maaf. Apa terlalu berlebihan?" Midoriya mengernyit cemas.

"Ti-tidak, tidak." Todoroki segera menggeleng. "Aku tidak mengatakannya dalam artian buruk. Uhm... wajar bagi perempuan untuk berdandan, kan?"

"Sebenarnya aku sudah mengatakan tidak perlu, tapi Sumire masih menganggapku sama seperti di istana. Jadi... yah, aku terpaksa menurut."

Bulu mata lentik, manik emerald cerah pada matanya yang lebar, lipstik merah muda cantik pada bibirnya, dan perona tipis pada pipi berfrecklesnya. Itu hanya dandanan biasa yang tidak berlebihan. Tapi karena Midoriya sendiri sudah berparas cantik, riasan pada wajahnya membuat pesona kecantikannya semakin memancar.

Fake Bride - BNHA Fanfict (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang