Chapter 1 | Notification

42.3K 2.7K 97
                                    

Bising kemacetan ibukota rasanya sudah terdengar di mana-mana. Terlebih saat jam masuk dan pulang kantor. Seluruh penduduk dengan kategori produktif seolah tumpah ruah di jalan. Dari buruh hingga eksekutif berkumpul di jalan yang sama, dengan kendaraan, tujuan, dan urusan masing-masing. Ada yang bergegas pulang ke rumah, ada juga yang memilih melepas penat entah di tempat hiburan mana.

Gadis itu menghela napas, melihat lampu-lampu kendaran yang melintang di bawah sana. Dari tempatnya memandang, di lantai 20 salah satu gedung perkantoran yang ada di jalan protokol ibukota—belum ada tanda-tanda kemacetan akan segera mengurai. Ia meruntuki keputusannya untuk tetap berada di kantor, dua pilihan yang sebelumnya memenuhi kepala gadis itu seolah tidak ada bedanya. Pulang segera atau pun menunggu kemacetan mereda sama-sama membuatnya tiba di rumah ketika malam terlanjur pekat.

Sekali lagi gadis itu menghela napas, melirik jam di meja kerjanya yang sudah menunjukan pukul 08.15 malam. Entah kapan ia akan memutuskan berhenti menunggu, lantas pulang meski harus tetap berkutat dengan kemacetan pada akhirnya.

"Mbak Sani belum pulang?"

Suara itu membuat gadis yang termenung memandangi kemacetan sejak tadi menoleh. Mendapati seorang pria berusia di awal duapuluhan dengan seragam kebanggaan dan peralataan kerjanya—sapu dan kain pel—tersenyum ke arah gadis yang baru saja disapanya itu ramah.

"Belum, Jang. Kamu shift sampe malem lagi?"

Pria muda berstatus cleaning service itu mengangguk masih dengan senyum ramah. Menghampiri Sani dan mengambil cangkir kopi yang kosong di meja kerja gadis itu setelah meminta izin pada si empunya.

"Nunggu macetnya reda lagi, Mbak?"

"Berasa kayak nunggu hujan aja pakek reda segala," seloroh Sani tertawa kecil.

"Loh, Mbak sendiri yang pakai kosakata itu kemarin. Saya mah ngikutin aja," kekeh Ujang meletakan cangkir kopi itu di troli perlengkapan pembersih yang ia bawa.

Pada akhirnya Sani hanya tersenyum, tidak lanjut menanggapi ucapan Ujang lantas menganggu pekerjaan pria itu.

"Ya sudah, saya permisi dulu. Jangan kelamaan melamunnya, Mbak. Takut kesambet."

Sani tersenyum sambil mengangguk paham menanggapi gurauan Ujang. Fokus Sani kembali ke luar jendela setelah pria itu berlalu dari ruangannya. Memperhatikan deretan cahaya di bawah sana kini bergerak dengan kecepatan konstan. Tidak cepat, tidak juga diam di tempat seperti beberapa puluh menit lalu.

Meraih tas di meja, ia putuskan untuk pulang. Kepenatannya hari ini sudah cukup untuk tidak ditambah lagi dengan kemacetan yang hanya membuat mood-nya makin rusak. Beberapa hari ini Sani putuskan begitu, menunggu semuanya reda seperti yang tadi Ujang katakan. Termasuk suasana hatinya yang akhir-akhir ini terganggu karena hal itu. Yah, semuanya berawal sejak hari itu.

***

Seminggu lalu...

Dengan handuk di kepala Sani keluar dari kamar mandi. Beruntung kosan berukuran 3x4 meter itu sudah memiliki kamar mandi di dalam, tidak seperti kosan lamanya yang membuat Sani harus mengantri berjam-jam hanya untuk menunaikan aktifitasnya di kamar mandi.

Bukan bualan jika orang mengatakan bahwa hidup di Ibukota itu keras, karena setelah bertahun-tahun hidup di kota tetangga dengan situasi yang lebih baik nyatanya membuat Sani sangat merasakan perbedaan itu. Padahal ini tahun keduanya merantau, tapi kepenatan yang ia rasakan tidak juga mereda hanya karena masalah terbiasa atau tidak. Yah, mungkin gadis itu memang membutuhkan waktu bertahun-tahun lagi untuk tidak mengeluh seperti sekarang.

Meraih lembaran laporan yang baru saja keluar dari mesin printer di samping laptop, Sani sibuk membaca deretan huruf di kertas itu masih dengan sebelah tangan yang sibuk mengeringkan rambut. Perhatian Sani masih pada kertas di tangannya, ketika ponsel yang ia letakan di atas tempat tidur berdering menandakan ada satu pesan baru.

ReuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang