✰ • 01

136 16 63
                                    

Suara debur ombak yang menyisir pasir begitu halus melewati pendengarannya. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya yang hari itu tergerai lembut di sisi bahunya.

Matahari pagi kian terik, panasnya terasa menusuk kulit, namun Aria tidak ada niatan untuk beranjak dari posisinya. Duduk di sisi dermaga sambil menatap birunya lautan. Pandangannya begitu kosong, seakan hampa telah menggerogoti sebagian tubuhnya.

Di bawah kakinya yang menggantung, warna air laut masih terlihat cerah. Begitu Aria menatap lebih jauh, warna birunya jadi lebih pekat, hingga cenderung gelap. Memperlihatkan bagaimana warna biru yang memiliki banyak lapisan menurut kedalamannya.

Warna biru identik depresi dan kesedihan. Ada banyak sekali warna biru yang Aria lihat hari ini. Langit juga begitu cerah, bersih tanpa awan. Memukau matanya dengan warna birunya. Begitu pula biru yang Aria lihat di hidupnya.

Kalau hidupnya diibaratkan dengan warna biru, maka kedalamannya sudah mencapai posisi paling bawah. Aria seakan dipaksa terjun bebas mengarungi dalamnya lautan itu sendirian. Terperangkap di dalamnya tanpa ada yang sudi menariknya keluar.

Padahal Aria tidak menginginkannya. Aria tidak pernah menginginkan warna biru itu menyelimuti hidupnya. Namun takdir berkata lain, Aria tidak punya jalan keluar lagi.

Aria tertawa sumbang. Tidak, Aria tidak menertawakan bagaimana seorang lelaki di pinggir pantai terjatuh akibat perbuatannya sendiri yang tidak memperhatikan bagaimana gundukan pasir menghalangi langkahnya. Aria sedang menertawakan hidupnya sendiri sambil menatap lautan di hadapannya.

Lucunya, di tempat ini juga Aria hampir menenggelamkan diri. Tepatnya empat bulan lalu, ketika Ayahnya tiada, ibu tirinya mengusirnya dari rumah, pacarnya sendiri ketahuan berselingkuh di belakangnya. Ironisnya lagi, pacarnya berselingkuh dengan adik tirinya.

Aria masih mencoba bangkit dengan secercah harapan bahwa ia bisa hidup normal dengan mengandalkan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan. Namun, lagi-lagi semesta tidak mengabulkan permintaan sederhananya. Seminggu setelahnya, Aria didiagnosa mengidap glioblastoma, tumor otak ganas yang membuat dokter memvonis hidupnya paling lama hanya bertahan empat bulan.

Padahal Aria tidak merasa ada yang salah dari tubuhnya. Ia bisa berlari kencang dari lantai satu ke lantai delapan menaiki tangga ketika hampir terlambat masuk kantor. Ia berolahraga dengan rutin, makan dengan teratur. Selain sakit kepala yang datang tidak menentu, Aria baik-baik saja.

Hal itu sudah berulang kali ia jelaskan pada dokter, namun dokter hanya mengatakan hal yang sama. Bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi, bahkan dokter itu menyarankan Aria untuk memeriksakan diri ke dokter lain jika masih tidak percaya dengan diagnosanya yang dianggap sudah akurat.

Saat itu, Aria pikir mengakhiri hidup adalah jalan keluar dari semua masalahnya. Lagipula tidak akan ada bedanya, mati saat itu juga atau tiga bulan setelahnya. Ia akan tetap meregang nyawa pada akhirnya.

Aria hampir melompat dengan asumsi bahwa ia akan kehabisan napas di tengah kungkungan air laut kalau saja notif dari ponsel tidak menghentikannya. Sheila, adik tirinya mengirimkan foto dirinya dengan mantan pacarnya yang sedang bercumbu mesra.

Entahlah, saat itu Aria merasa ini tidak benar. Aria tidak seharusnya mati secepat itu, sedangkan orang yang membencinya bisa hidup bahagia setelah merampas segalanya darinya. Harta kekayaan bahkan kekasihnya sendiri Sheila rebut dengan mudah.

Seharusnya Aria tidak mati semudah ini bukan?

Setidaknya hal konyol itulah yang menyelamatkan nyawanya. Aria lantas pindah ke kampung halamannya, rumah peninggalan ibunya yang dekat dengan pesisir pantai. Semua ia lakukan untuk menyembunyikan penyakitnya dari Sheila dan ibu tirinya. Aria pergi setelah berteriak lantang pada mereka bahwa ia akan hidup bahagia dengan orang terkasihnya di tempat yang indah dan berselimut kekayaan.

Shades of Blue ✔Where stories live. Discover now