prolog

52 3 0
                                        

Prang.....

Seorang anak kecil berusia enam tahun menutup telinga dengan kedua tangannya di sudut kamar.

"Mas, tolong jangan pergi setidaknya demi Angkasa." Airmata menetes dipeluk mata.

"Aku gak pedil, aku udah gak kuat hidup susah lagi, Resna!"u akan pergi! Jangan ganggu aku lagi!" Setya mendorong istrinya.

Setya keluar dengan membanting pintu rumahnya.

Seorang wanita paruh baya menatap menatap nanar kepergian suaminya. Dia kemudian berjalan menuju kamar anak semata wayangnya.

"Aksa, kemari, Nak." Angkasa yang masih kecil berhari menghampiri ibunya.

"Bunda," panggilnya lirih.

Resna mengelus surai hitam milik Angkasa. "Maafin Bunda, sekarang kita harus tinggal berdua saja. Ayah kamu sudah pergi," ucap Resta dengan isakan tangis.

Angkasa memeluk ibunya dengan erat. "Ayah udah pergi, Bunda juga jangan tinggalkan Aksa, janji!"

"Pasti." Resna menautkan kelingkingnya.

Angkasa masih kecil harus menerima kenyataan pahit ditinggalkan seseorang. Sang ayah pergi dikarenakan tidak untuk hidup miskin. Kini mereka berdua menjalani kerasnya kehidupan mau tidak mau harus dengan penerimaan.

Kepala Angkasa berdenyut teringat masa lalu yang membelenggunya. Semenjak kepergian ayahnya, dia kehilangan sosok figur ayah yang membuatnya memiliki takut berlebihan atas kehilangan seseorang. Merasa cemas saat sendirian seakan dia terjebak dalam ruangan gelap tanpa ada jalan keluar menuju cahaya.

Setiap malam, dia berusaha untuk menahan diri isi kepalanya yang hampir meledak membuatnya sulit tidur. Membentuknya menjadi laki-laki remaja yang dingin dan kaku.

Kini, semuanya seoalah terulang kembali. Orang yang disayangi pergi karena kesalahan yang tidak sengaja dilakukan.

Dahulu dia kehilangan sosok yang seharusnya menjalankan kewajiban sebagai ayah. Sekarang, dia kehilangan seseorang yang memberikan makna kehidupan baru bagi Angkasa.

"Asa, Ena pamit yah. Makasih atas waktunya. Sebenarnya Ena ga bohongin Asa, tapi ada orang lain yang sengaja membuat Angkasa pergi. Tapi Ena ikhlas dan gak benci sama orang itu karena itu sudah takdir."

"Ena gak boleh bilang gitu, kata Ena 'kan mau sembuh, jangan tinggalin Asa," tutur Angakasa masih terisak-isak.

"Asa jangan nangis, Ena pingin Asa bahagia, Ena pamit yah Asa. Ada surat untuk Asa di tas kamu."

Pikirannya melayang tentang kejadian memilukan yang dialami oleh Ena.

Semua ini karena salahnya, seharusnya dia tidak begitu saja percaya dengan Ita dan Alen. Angkasa terlalu bingung untuk menentukan keputusan sehingga menjerumuskan dalam penyesalan yang sia-sia.

"Angkasa," ucap dokter Rangga membuyarkan lamunannya.

"Iya, Kak." Angkasa menetralisir emosinya supaya tidak meluap.

"Kamu sekarang udah bisa bertemu dengan dokter Niskala untuk konsultasi," kata Dokter Rangga menatap teduh wajah Angkasa.

Dokter Niskala adalah psikiater yang menangani berbagai kasus masalah kesehatan mental.

"Iya, Kak. Terima kasih."

Angkasa tiba di ruangan konsultasi dokter Niskala.

"Hai Angkasa," sapa seorang wanita menggunakan hijab berwarna navy.

"Hai, Kak," balas Angkasa ramah.

"Kata Rangga, kamu memiliki problem di mental, ya?" tanya Niskala hati-hati.

"Iya, Kak. Ini dari masa lalu," balas Angkasa dengan tatapan mulai menghangat.

"Coba ceritakan dari awal."

Angkasa mulai menceritakan awal dari rasa sakit akibat trauma di masa lalu saat dulu ditinggalkan ayahnya lalu berlanjut ditinggalkan kembali oleh orang yang membuatnya menemukan makna hidup baru.

Hari demi hari berlalu, tepat seminggu setelah hasil tes dari pemeriksaan kesehatan mental, hatinya mencelos ternyata dia di diangnosis  penyakit authophobia dan PTSD.

selamat pembaca dan semoga cerita ini bermanfaat. Dalam cerita ini akan fokus ke kehidupan Angkasa pasca Ena kecelakaan.

Autophobia [Sequel Arrhenphobia]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt