Oneshot: Seandainya

Mulai dari awal
                                    

"Masih sedih?" tanyaku hati-hati sembari mengalungkan apron di pinggangnya.

Dari balik punggungnya, aku melihat gelengan kepala yang lemah. Diam-diam aku tersenyum. Setidaknya ia tak lagi menangis sampai larut malam seperti kali pertama ia menemukan kekasihnya mendua.

Perlahan, aku mengikat tali apron, membentuknya serupa dengan pita besar tepat di belakang pinggulnya. Sempurna.

"Sudah. Berbaliklah."

Dan lagi-lagi ia hanya menurut tanpa perlawanan.

Masih dengan senyum, aku merebahkan kedua telapak tanganku tepat di bahunya. Kedua matanya menatapku dengan bingung.

"Jangan pernah lagi menangis sendirian seperti semalam. Ada aku. Maka larilah padaku. Aku akan dengan senang hati memelukmu. Mengerti?"

Di hadapanku, ia mengerjap pelan dalam beberapa detik. Kemudian ia tersenyum tipis sembari mengangguk perlahan.

*****

"Capek?"

Aku melihatnya menggeleng pelan. "Kenapa? Mau makan?"

Aku menampilkan cengiran lebar, sembari menggaruk tengkukku yang tak gatal. Sedikit salah tingkah, rupanya ia mulai 'mengenal'ku.

"Mau sih, tapi nanti. Setelah selesai persiapan dapurnya."

Ya, sebagai yang mengurus dapur, dia selalu datang lebih awal daripada karyawan dapur yang lain. Menyiapkan adonan dan semua bahan dasar beserta garnish makanan. Padahal, aku hanya memintanya untuk mengawasi saja. Tapi dengan keras kepalanya, ia juga meminta untuk turun tangan.

Perlahan, aku mendekatinya. Tepat di sampingnya yang sedang mengiris paprika dan bawang bombay dengan cekatan. Aku berdecak kagum. Rupanya dia sudah lihai untuk urusan dapur.

"Aku daftarkan namamu di kelas masak level koki, ya?"

Tiba-tiba ia menghentikan gerakan tangannya di atas talenan. Ia memandangku dengan bingung. Kemudian tertawa geli sembari menggelengkan kepala.

"Untuk apa?"

Aku mengedikkan bahu. "Agar kau bisa memasak dengan hebat layaknya koki-koki ternama."

Lagi-lagi ia tertawa geli. Ah, betapa aku ingin mencubit pipinya. Mengapa ia terlihat sangat manis saat tertawa seperti itu.

"Aku tak membutuhkannya, Dimas."

"Oh, ayolah. Aku yang akan membayar semua biaya kelasmu nanti."

Aku mendengar helaan napas kecil dari hidungnya. Setelah meletakkan pisau di atas talenan, ia memandangku lekat dengan tatapan teduhnya.

"Kau sudah melakukan banyak untukku, Dim. Jangan melakukan yang lebih dari ini."

Kedua bahuku turun dengan lesu. "Ya sudah kalau memang itu maumu."

*****

Apa kalian pernah merasakan bagaimana menyakitkannya melihat seseorang yang kau cintai, sedang murung dan berusaha untuk tersenyum meski terlihat terpaksa? Dan kali ini, mendengar tawanya sungguh membuat telingaku sakit. Hari ini tawanya tak semerdu alunan nada dari senar harpa.

Terlanjur kesal dengan wajahnya yang terus saja tertekuk di tengah, aku bermaksud menggodanya. Tepat di saat ia meletakkan satu piring berisi pesanan dari pelanggan. Sengaja, aku yang menerima piring tersebut.

Dan lagi-lagi, aku melihatnya tersenyum tipis. Jenis senyum yang sangat aku benci. Karena aku tahu, bibirnya kali ini benar-benar dipaksa untuk melengkung ke atas.

"Kenapa hm?"

Lagi-lagi dia tersenyum. "Kenapa apanya? Aku baik-baik saja."

Aku menggeleng pelan sembari mengelap sendok dan garpu sebelum meletakkannya di tepi piring berisi pasta.

"Kau bohong. Aku tahu kau bohong."

Tanpa menunggu jawaban, aku segera mengangkat nampan. Membawanya pada satu meja.

Setelah menaruh nampan pada meja bar, tanpa pikir panjang aku memutuskan untuk memasuki dapur. Tapi aku tak menemukannya.

"Dimana Ara?"

"Di gudang, mungkin." Zain yang bertugas untuk mencuci piring hari itu, yang menjawabnya. Aku hanya mengangguk mengerti.

Membuka pintu gudang, aku mendapati Ara sedang memejamkan mata, menyandarkan kepalanya pada sofa. Ya, gudang di kafe ini bukanlah ruang sempit untuk menyimpan barang-barang bekas. Tapi gudang yang digunakan untuk menyimpan bahan-bahan adonan, sekaligus untuk tempat tidur Ainul yang setiap harinya selalu menginap.

"He-"

"Kau tahu? Rasanya semakin sakit," potongnya cepat sebelum aku sempat menyapanya.

Di sampingku, ia masih memejamkan matanya.

"Di sini, Dimas." Ia menunjuk tepat di atas jantungnya yang sedang berdetak di dalam sana. "Dan di sini." Telunjuknya beralih tepat pada pelipisnya.

Melihatnya seperti ini, rasanya aku mendadak sulit menelan apapun yang sedang ada di kerongkonganku.

"Aku berharap dia bisa berubah, Dimas."

Perlahan, ia membuka kedua matanya. Menatapku dengan sorot mata yang terluka. Sakit. Rasanya aku bisa merasakan sakitnya.

Di hadapanku, ia menggigit bagian bawah bibirnya. Oh, aku mohon, Ara. Jangan menangis lagi.

"Tadi siang..." Ia mulai tak bisa membendung genangan pada kelopak mata yang pasti mengganggu pandangannnya. Aku hanya memandangnya dalam diam.

"Tadi siang, aku bertemu dengannya. Dan aku membongkar semua pesan-pesannya tanpa ia tahu."

Oh, aku sudah tak tahan lagi. Aku merengkuhnya ke dalam pelukan. Membiarkannya membasahi kaos hitamku.

"Jangan. Jangan diteruskan kalau itu menyakitkan."

"Dia bilang hanya teman. Tapi teman mana yang saling memanggil dengan 'Sayang'? Teman mana yang menanyakan status satu sama lain. Dimas, apakah dia tak memikirkan perasaanku?"

Sungguh, aku benci kekasih bodoh Ara. Susah payah aku membuatnya tertawa dan lagi-lagi aku harus menghadapinya yang sedang menangis karena kelakuan bodoh kekasihnya.

"Aku lelah, Dim." Rasanya semakin tersayat saat mendengar betapa lirih suaranya. "Aku lelah."

Aku memeluknya semakin erat. Mengelus rambut hitamnya yang jatuh tergerai.

"Menyerahlah jika lelah, Ara. Ada aku di sini, kau tahu?"

Di dalam pelukanku, aku merasakan ia mengangguk pelan.

Cukup lama ia menangis. Sampai akhirnya ia melepas pelukanku dengan pelan. Aku tersenyum tipis. Mengusap jejak airmata yang membekas di pipinya.

"Dimas ...."

"Ya?"

"Andai saja aku bertemu denganmu lebih awal, aku yakin pasti aku bahagia."

Aku tersenyum miris. Ya, Ara. Kau benar. Seandainya saja kita bertemu lebih awal.

END

*****

Mohon dimaafkan jika ada kesamaan setting hahaha. Mohon maklumi yang ngerusuh di comment :p

Imajinasi dibumbuin non fiksi selalu terlihat manis ya.

SeandainyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang