Chapter 2

9.6K 441 11
                                    

28 Oktober 2008

Rizky datang ke rumahku tepat pukul 00.00 untuk memberikan kejutan ulang tahunku. Saat ini di rumah Nenek juga ada Mama yang kemarin baru saja datang. Kami berempat, aku, Rizky, Mama dan Nenek sedang berada di kamarku, mereka memberikan kejutan kecil untuk merayakan ulang tahunku.

" Happy Birthday Tirta.. Semoga panjang umur ya." Rizky duduk di sampingku dengan membawa kue yang di atasnya berdiri lilin angka 18. 

Aku mengangguk mengucek-ngucek mataku—siapa tahu saja ada beleknya di sana."Kok malem-malem gini sih, bangunin seisi rumah aja. Bisa kan besok pagi-pagi juga kamu ke sininya, Ky." 

Mama langsung memelukku. "Panjang umur ya sayang, Mama sayang kamu." Mama tiba-tiba menangis memelukku erat. Nenek juga kemudian memelukku ikut menangis. 

"Udah Ma, Nek. Tirta juga sayang Mama sama Nenek." Aku mencoba menenangkan Mama dan Nenekku, tetapi mataku melihat ke arah Rizky yang masih diam melihat kami. 

Mama dan Nenek melepas pelukannya, dan mulai meredakan air mata mereka. Mungkin mereka sadar ada Rizky yang sedang memperhatikan kami sekarang. 

"Tiup lilinnya dong, pegel nih tangan." Ucap Rizky mulai mencairkan suasana. 

"Ini siapa yang nyiapin kuenya?" Karena yang aku tahu mama tak pernah bangunin aku dan nyiapin kue malam-malam sewaktu ultahku sebelum-sebelumnya. Mama sibuk, aku paham akan hal itu. Mama datang ke sini juga karena kebetulan waktunya bertepatan dengan waktu berobatku. Dua minggu sekali mama datang menemaniku berobat.

"Aku. Hehehe." Rizky cengengesan.

"Cepat di tiup lilinnya sayang!" Nenek mengusap kepalaku. 

"Doa dulu!" Rizky menghentikan mulutku yang sudah bersiap meniup lilin.  Aku melirik Rizky, lalu berdoa di dalam hati. "Huuff! Huuff!" Aku langsung meniup lilin setelah doaku selesai.

-
-

Setelah kejutannya selesai, Mama dan Nenek kembali ke kamar masing-masing. Rizky, huh dia ijin pada Mama dan Nenek untuk tidur di sini malam ini. 

"Ta, aku punya hadiah buat kamu." Rizky mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya.  "Hadiahnya harus mahal ya." kataku bercanda.

Rizky misuh-misuh. "Huh yang dinilai itu ketulusannya bukan harganya."Rizky memberikan hadiahnya. 

Aku hanya mendelik menanggapinya. "Kok kecil sih kotaknya?" Aku melirik kotak kecil yang sekarang ada di tanganku.

"Huh, balikin sini kalau gak mau! Protes aja, makasih tah gitu!" Rizky mencoba merebutnya kembali dari tanganku tapi tak berhasil. 

"Hehe becanda! Makasih ya Muhammad Rizkyyyyy!" Aku langsung merobek paksa kertas kado yang membungkusnya. "Apa ini?" Aku pandangi bentuknya, benda kecil perak berbentuk seperti burung.

"Itu bisa bunyi loh, coba tiup! Heheh." Rizky menjelaskan. 

Aku langsung meniupnya "Priiiitt..! Priiiit..!" Begitu suara yang keluar dari si burung. "Ini priwitan?" Aku menunjukan priwitan berbentuk burung itu tepat di depan nya. 

"Hahah, iya. Itu liontin kalung yang bisa juga dijadiin priwitan." Jelas Rizky tertawa. 

Aku merengut. "Kalungnya mana?"

"Kalungnya kamu beli sendiri.. Haha" Rizky tertawa puas. 

Aku mengerjap. "Dasar peliiitt!" Aku langsung menubruknya, dan kami berguling-guling di atas tempat tidurku. Aku lancarkan seranganku dengan mengelitikinya—Rizky tak tahan geli—tanpa ampun. "Hahaha.. Sukurin gak ada ampun!" 

Jantung HatiWhere stories live. Discover now