Chapter 3 : Celah

107 15 0
                                    

Setelah membasuh wajah serta mataku untuk menghilangkan jejak-jejak sisa tangisan, aku kembali menuju ke dapur

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.

Setelah membasuh wajah serta mataku untuk menghilangkan jejak-jejak sisa tangisan, aku kembali menuju ke dapur. Bagian yang cukup membuatku terkejut adalah baju dan celana panjang yang diberikan Tuan Adam sangat pas di badanku, seolah pakaian ini dimiliki oleh seseorang di masa lalu.

Kudapati Tuan Adam masih sibuk menulis di buku yang begitu tebal. Berusaha untuk tidak menarik perhatian, kulangkahkan kaki perlahan tak ingin menimbulkan suara.

"Bagaimana aku memanggil namamu?"

Aku terkesiap saat mendengar suaranya yang tiba-tiba menyeletuk, "Maaf?"

"Namamu." Tangannya yang menggenggam pena bulu berhenti menari di atas kertas, atensinya beralih kepadaku. Ekspresinya tak terbaca, entah jijik, dingin atau menilai aku tidak tahu namun sorot itu terlihat menakutkan sehingga membuat urat leherku menegang.

Aku takut.

"Lily. Namaku Lily Hazel," balasku pelan hampir terdengar seperti bisikan. Dia menggangguk samar, seolah tidak terganggu lantas kembali menulis. Canggung, dingin merebak di atmosfer rumah yang cukup luas. Tubuhku kaku, aku takut salah melakukan sesuatu sehingga berakhir dengan dipukul atau disiksa seperti yang pernah kualami dulu.

Jadi aku memutuskan untuk tetap berdiri di seberang Tuan Adam yang masih sibuk menulis. Aku menatap ke sekitar ruangan, melihat lebih jelas rumahnya yang sederhana namun sangat nyaman. Botol kaca berisi tanaman herbal, berjejeran tertata rapi di rak kayu yang menempel pada dinding, vas bunga yang diletakan di kusen jendela, lantai kayu. Semenit berlalu sampai suara berat memecah keheningan menyahut, "Mengapa kau masih berdiri di situ?"

Jantungku berdetak dua kali lebih kencang, aku menoleh mendapati alisnya mengkerut diiringi dengan tatapan menilai.

"A-aku..." dia mengendikkan kepala ke arah kursi di hadapannya seolah memberi sinyal. "Duduk." Tak bisa kupungkiri, perasaan takut sekaligus was-was menguasai diri ini, ditambah dengan dengan tatapannya yang terpaku mengawasi membuatku oksigen terasa menipis di sekitar.

Aku menuju ke arahnya lalu menarik kursi kayu meja makan, namun karena kecorobohan sekaligus gugup, tulang keringku tak sengaja berbenturan dengan kaki kursi---lebih buruknya lagi tepat membentur mengenai lebam. Nyeri disertai denyutan mulai menjalar, aku mencicit pelan, "Ad... duh..."

***

"Pakai ini."

Tuan Adam menyondorkan salep yang berada di dalam wadah kayu berbentuk kubus seukuran dengan genggaman tangan. Aku mengangguk samar, mengambil salep di atas meja sambil menghindari tatapan matanya.

Kuambil sedikit dengan ujung jari telunjuk, teksturnya seperti gel yang padat---lantas mengoleskannya perlahan ke lebam yang menghiasi kakiku. Rasa nyeri seketika menjalar begitu kutekan pelan dengan ujung jari, kugigit bibir bawahku menahan sakit namun sia-sia saat mulutku tak sengaja meringis.

Madrugada | Nijiro MurakamiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ