Chapter 13

384 25 0
                                    

[Rise: Fans Not Fans]

☘☘☘

"Kakak!" Rengga memekik kegirangan dan berlari menghampiri Rafa yang duduk bersama Bhira dan kakak perempuannya. Tingkah menggemaskan Rengga telah menarik perhatian beberapa pengunjung yang dilewati bocah itu, bahkan tanpa sadar mereka menatapnya sembari menyunggingkan senyum geli.

Rengga sangat senang bisa bertemu Rafa setelah berhari-hari berpisah. Karena rasa senang tersebut, dia berlari sangat cepat dan tidak sengaja tersandung oleh kakinya yang membuat bocah itu tiba-tiba tersungkur dengan posisi tengkurap. Kejadian yang terjadi begitu tiba-tiba membuat semua orang disekitar terkejut, Zilly yang berjalan beberapa meter darinya bahkan tak kalah kagetnya. Zilly hendak membantu Rengga berdiri ketika dia dihentikan oleh sesosok bocah yang setahun lebih tua dari Rengga yang berjongkok disamping bocah ingusan tersebut.

Rengga mengangkat pandangannya ke arah Rafa. Sudut matanya memerah, bibirnya mencebik lucu, matanya berkaca-kaca, dia nyaris saja menangis sebelum Rafa dengan tegas berkata: "Jangan menangis, ayo bangun."

Kata-kata Rafa seolah sebuah perintah yang tidak bisa dibantah. Rengga yang hampir saja menangis memaksakan bibirnya untuk tersenyum dan menahan diri untuk menangis. Rafa membantunya berdiri lalu menepuk-nepuk pakaiannya yang berdebu dan menarik tangan Rengga menuju ke meja untuk bertemu Bhira dan kakak perempuannya.

"Sayang, bagaimana kabarmu, apa itu baik-baik saja?" Bhira mengusap kepala mungil itu dengan lembut menenangkannya.

Air matanya jatuh, tapi Rengga tidak ingin menangis. Dia menyeka air mata, menganggukkan kepala dan memberikan senyum terbaiknya pada Bhira.

"Dia sangat imut." Celetuk Fabby yang hari ini berpenampilan anggun dengan rambut di gerai dan pita di kedua sisi rambutnya. "Mama, aku ingin adik seperti dia. Hallo adik kecil, siapa namamu?" Fabby menoel hidung Rengga, sesekali akan mencubit kedua pipi montok itu dengan gemas.

"Lengga. Aku cuka kakak." Kata Rengga berhambur memeluk Fabby.

"Rengga, jangan memeluk seorang gadis sembarangan." Tegur Zilly lalu menyapa Bhira sebentar dan menarik kursi kosong mendudukkan bokongnya disana. Rengga berada ditengah-tengah Fabby dan Rafa. Anak-anak Bhira sangat sibuk memperhatikan Rengga hingga mereka lupa bahwa mereka juga perlu makan. Bhira yang duduk disamping Zilly hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tak berdaya.

"Saya tidak tahu anda punya satu putra dan satu putri. Anda benar-benar terlihat awet muda," puji Zilly saat mereka mulai makan.

Bhira terkekeh dengan pujian tersebut dan merendahkan diri, "Mana mungkin. Usia saya sudah hampir memasuki tiga puluh empat tahun, itu sudah tua."

"Ya tuhan!" Zilly menutup mulutnya dramatis, "Tiga puluh empat tahun? Saya pikir dua puluh tujuh atau dua puluh delapan. Ini benar-benar mengejutkan."

Bhira tersenyum tipis. Sejak kejadian dimasa lalu (baca: Lindang), saat seseorang mencoba memuji kecantikannya, Bhira selalu mencoba abai. Dia bahkan tidak terlalu percaya diri karena menurutnya pujian itu hanya untuk membuatnya senang dan tidak lebih. Tapi sebenarnya yang Zilly lihat bukan hanya sekedar memuji dan jilatan, Bhira itu cantiknya natural meski wajahnya sedikit rusak tapi tidak menutup kecantikan alami yang perempuan itu miliki.

Zilly tidak berbohong ketika dia mengatakan Bhira itu cantik. Tidak hanya wajahnya, melainkan juga hatinya. Zilly tiba-tiba penasaran siapa sesosok suami beruntung yang mendapatkan perempuan sebaik dan secantik Bhira. Bahkan kedua anaknya terlihat sangat cantik dan tampan, pasti suami Bhira memiliki juga memiliki wajah yang sebanding.

"Omong-omong kenapa kamu baru menghubungi saya setelah berhari-hari? Anak itu selalu menanyakan kapan Bibi Zil menelepon, dia selalu menatap ponselku sampai lelah menunggu." Bhira mengganti topik, menceritakan kejadian lucu yang dialami putranya sejak beberapa hari terakhir.

RISE: Terjebak Dalam Ilusi [END]Where stories live. Discover now