Hanya Karena Kita Berbeda?

23 4 0
                                    

           Tujuh belas tahun yang lalu, saya rasa kalimat di atas adalah pembuka yang pas untuk mengawali isi buku ini. Paling tidak, Anda akan berkaca dengan kisah yang akan saya bawakan di halaman pertama di buku yang sedang Anda genggam sekarang ini.

Lia adalah anak kecil biasa, sama seperti anak-anak seusianya masa itu. Ia ceria, pemberani dan apa adanya. Hari-hari nya berjalan sebagaimana mestinya, sekolah, bermain terus saja seperti itu sepanjang tahun.

Ia tidak kehilangan kasih sayang, walaupun ditinggal orang tuanya bekerja. Cukup waktu dua tahun kebelakang kehangatan dan keceriaannya dengan sang Ayah. Sore hari selalu tidak pernah tertinggal menunggu Ibu pulang dari kerja. Adalah suatu hal yang mengasikkan baginya. Selain bertemu Ibu, juga oleh-oleh jajanan kesukaan yang membuatnya mengejar pesat sosok Ibu yang baru pulang.

Hingga suatu hari yang terjadi padanya dimasa sekolah, merenggut keceriaan dan semangat hidup darinya. Usianya saat itu masih delapan tahun, tepat di kelas tiga sekolah dasar. Bullying pertama kali terjadi padanya adalah ucapan, ejekan-ejekan yang membuat telinganya penging. Hal itu masih belum membuatnya menanggapi ejekan lelucon yang menurut teman-teman kelasnya merasa lucu. Hingga kekerasan non-verbal Lia rasakan, mungkin sebab bullying verbal tidak mendapatkan respon yang ingin teman-temannya dapatkan dari Lia.

Sepanjang hari, sepanjang tahun menjadi beban yang cukup berat untuk Lia. Ia menjadi pilihan teman-teman kelasnya sebagai bahan candaan yang menyenangkan bagi mereka. Di kurung sendirian di dalam kelas dengan siswa laki-laki itu yang membully-nya. Di takut-takuti dengan hal yang membuatnya takut. Di jepitkan jari tangannya di pintu. Di keroyok manakala ia mencoba untuk membela diri. Tak jarang Lia selalu pulang menangis, dengan seragam sekolah yang kotor dan berantakan. Wajah lebam dan penuh cakaran. Tapi orang dewasa selalu mengumpat dengan kalimat, "Namanya anak-anak,"

Gurunya bahkan beranggapan, "Si Lia nya aja cengeng, penakut, aleman,"
Dan orang tuanya berpikir, "Gak apa-apalah anak-anak biasa seperti ini, nanti juga baik lagi,"

Padahal jauh dilubuk hati Lia, ia mengalami tekanan hebat. Sudah berkali-kali ia meminta pindah sekolah pada ayah dan ibunya. Tapi anggapannya selalu sama, namanya juga anak kecil.

Bahkan jika sosok Lia mencoba kilas balik mengenai kisahnya masa itu, rasanya ternyata masih sama. Tidak ada yang berubah. Sakit, pedih, marah dan sedih. Mampu membangkitkan rasa sakit hati yang dalam. Walaupun hidupnya sekarang sudah berdamai dengan masa lalu, dengan dirinya tapi jika saya meminta Lia untuk kembali menceritakannya itu merupakan kisah seperti melukai luka lama yang sudah mengering. Membuka dan melawan trauma.

Bertahan hidup setiap hari dari bully adalah hari-hari penuh dengan kebencian, sakit hati dan akhir dari semuanya adalah keinginan untuk menghilang dari bumi. Akhirnya Lia tumbuh menjadi sosok yang pendiam, dan selalu memendam perasaan apa pun yang dia rasakan. Hingga pada puncaknya Lia mampu marah sejadi-jadinya, seperti bukan sosok Lia lagi. Ia tidak pernah takut untuk mati, ia tidak pernah takut untuk memotong urat nadi, ia tidak pernah takut tersayat pecahan kaca secara hebat. Ia tidak takut dengan dunia, ia tidak takut menjadi jahat, tidak takut menjadi kriminalitas.

Pernah terdengar, "Aku yang mati atau mereka yang mati ditangan ku sendiri," benak Lia.

Ia merasa dunia tidak ramah, semua orang jahat dan kasih sayang untuknya tidak ada lagi.

Ayah juga mampu melukainya, dan ibu selalu memaki-maki nya dengan hebat. Lia hanya tidak sadar bukan orang tuanya yang berubah melainkan pertumbuhan dirinya yang buruk. Mengakibatkan kedua orang tuanya merasa jengkel. Tetapi Lia pun sama, ia lelah dengan semua kebencian dan keributan. Teman-teman kelasnya masih saja selalu memperolok-oloknya dan memperlakukannya secara tidak baik.

           Lulus dari sekolah dasar, Lia berharap masuk sekolah menengah pertama hal-hal yang membuatnya letih untuk hidup tidak lagi terjadi padanya, tetapi kekhawatiran itu selalu menyelimuti perasaan Lia.

Apa yang ditakutkannya tidak sepenuhnya terjadi tetapi juga tidak sepenuhnya salah. Ada orang-orang yang ingin membulinya tapi kali ini Lia jauh lebih berani untuk melawan, ia cukup pengalaman dari sebelumnya.

Kemudian masuk sekolah menengah atas, di sini Lia membuat pendirian. Merubah karakter sebelumnya yang mudah menarik untuk di bully, kali ini Lia menjadi sosok anak perempuan tomboi dan menjadi salah satu pembully di sekolah.

Kalimat yang Lia ucapkan sebelum masuk SMA, "Gue yang akan bully daripada gue yang di bully."

Kalimat itu mampu menjadi penyemangat tapi juga sebuah kalimat yang sebenarnya salah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 15, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ANTI BULLYING Where stories live. Discover now