"Tidak ada jaminan kau selalu hanya mendapat luka yang masih bisa disembuhkan. Bagaimana jika kau sampai..." Midoriya terdiam saat merasa matanya panas, bibirnya gemetar.

Kirishima berbalik, melihat pada Midoriya yang menunduk sedih. Dia tersenyum kecil.

"Itu sudah resiko dari tugasku. Aku tahu soal semua yang bisa terjadi padaku, tapi tidak masalah. Aku mengabdikan penuh jiwa dan ragaku pada tugas ini, jadi apapun yang akan terjadi, aku sama sekali tak akan menyesal. Jika suatu saat aku harus mengorbankan nyawaku untuk melindungimu, maka aku akan melakukannya tanpa ragu dan mati dengan penuh kebanggaan akan diriku sebagai jenderal dan juga penjagamu."

Setitik air mata jatuh mengaliri pipi Midoriya. Kirishima mengusapnya. "Bakugou-sama akan membunuhku jika tahu aku sampai membuatmu menangis, haha."

Midoriya mengangkat wajah menatap pengawalnya itu. "Berjanjilah padaku, dalam situasi apapun, berusahalah untuk tetap hidup," ujarnya dengan serius. "Itu perintah."

Kirishima sempat terdiam karena Midoriya meski memiliki kewenangan untuk memberinya perintah apapun, jarang sekali memerintahnya kecuali untuk hal-hal mudah. Baru kali ini Midoriya memberinya perintah yang serius. Dia mendengus, tersenyum.

"Baik, saya mengerti, Nona." Dia membungkuk, tapi itu membuat mengaduh perih karena lukanya.

Midoriya tertawa, mengusap sisa air matanya. "Berbaliklah, aku belum selesai mengobatimu."

.
.
.
.
.

Midoriya bangun pagi-pagi sekali. Dia duduk dan mengingat jika dia ada di kamar gedung pusatnya. Sidang kemarin berlangsung hingga malam, jadi Midoriya memilih untuk tidur di pusat.

Hari masih terlalu pagi untuk bekerja, Midoriya berjalan-jalan di sekitar bangunan pusat dengan Kirishima yang menemaninya selagi menunggu waktu sedikit lebih siang.

Udara pagi terasa begitu menyegarkan. Selama ini Midoriya hanya bermalam di pusat saat dia sakit, jadi dia tak pernah bangun sepagi itu dan menikmati jalan-jalan pagi di daerah utama.

Mereka tiba di daerah yang belum pernah Midoriya datangi. Terlihat banyak pohon rindang dengan hiasan bunga bermekaran, jadi gadis itu berjalan memasuki kawasan itu dengan cukup bersemangat. Namun setibanya di sana, tatapan Midoriya tak tertuju pada pohon-pohon lebat itu.

Pedang terayun menebas angin. Melompat dan berputar di udara seraya menghunuskan pedang lurus ke depan. Mendarat dengan stabil, membungkuk menghindari gerakan bayangan yang melewati atas kepala, menebas di daerah rendah menjatuhkan lawan imajinasi.

Masih banyak lagi gerakan bertarung bersenjatakan pedang yang Midoriya lihat. Seketika dia diam terpikat melihat Bakugou yang tengah berlatih pagi sendirian.

Kirishima melihat manik hijau Midoriya yang berkilauan menatap latihan Bakugou. Dia tersenyum. "Yang Mulia selalu berlatih di jam-jam segini. Meski bekerja larut dia akan tetap bangun awal dan melatih tubuhnya."

Midoriya mendengarkan, tapi dia tak menjawab karena sibuk menonton. Kirishima kemudian terpikirkan sebuah ide.

"Yang Mulia!" Serunya.

Bakugou terhenti dan menoleh ke sumber suara. Dia baru sadar jika ada yang menonton.

"Sejak kapan kalian ada di sana?" tanyanya selagi menyeka keringat di pelipisnya dengan punggung tangan.

"Belum lama. Yang Mulia, saya ada usul." Kirishima menunjukkan pedangnya yang masih ada di dalam sarung pengamannya. "Bagaimana kalau kita bertanding? Sudah lama saya tidak melakukannya."

"Boleh saja. Biar kulihat apa keterampilanmu mengendor atau tidak."

Jenderal itu tertawa kecil. "Jangan khawatir, saya tak akan membuat Anda kecewa."

Fake Bride - BNHA Fanfict (Completed)Where stories live. Discover now