Bab 2 - Udin dan Circle-nya

73 28 108
                                    

Awalnya gue kira tinggal di kosan itu bakal menyejahterakan hidup gue, tapi ternyata tidak. Mental memang aman, tapi kantong, selalu meronta-ronta mirip monster keselek carolina reaper. Nangis, cuy!

Suatu ketika, di tanggal 30, gue sudah benar-benar kehabisan uang. Begitupula dengan sohib-sohib gue—Zul dan Anto. Biasanya kalau mengalami kantong kering, mereka berdua selalu dengan sukarela—walau enggak rela-rela amat—menolong gue dengan raut wajah masam mereka. Tetapi, bulan ini, karena kami terlalu sering bermain game di rental PS, jadilah uang kami habis ditilep monitor game itu.

"Din, gue laper parah. Mana gue ngidam pisang nugget lagi." Anto menekan lemak perut buncitnya.

Itu membuat mood gue semakin jelek, gue lantas menghela napas gusar. "Elah, lo kira lo doang yang laper? Nih, gue udah gagal lambung gara-gara kagak makan tujuh jam!"

"Perut boleh lapar asal hati tetap terjaga. Apalah artinya kenyang, tetapi wanita selalu membuat hati meriang."

Tidak ada cowok di dunia ini yang paling menyedihkan selain Zul. Si paling sadboy di circle kami. Gue juga bingung penderitaan macam apa yang telah dia alami sampai otaknya bisa berbentuk hati seperti itu. Tak sehari pun ia lewatkan tanpa menyebar kepuitisannya kepada dunia.

Beberapa waktu silam, ia tergila-gila dengan Joker. Hampir setiap hari dia mengulang-ulang kalimat iconic dari tokoh badut itu.

"Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti. Itulah sebabnya, jika rasa cinta kau pahat, bertanggungjawablah untuk senantiasa mencintai." Zul mengangkat tangan di udara, membuat gue dan Anto seketika menutup mata. Bagaimana tidak? Kita waktu itu lagi di lapangan futsal sekolah.

Pengidolaan Joker ternyata tidak berlangsung lama. Baru-baru ini, Zul mengidolakan seseorang yang bukan cuma se-karakter dengan dia, tetapi juga mirip secara fisik.

Orang ini, atau biasa disebut Fajar sadboy

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Orang ini, atau biasa disebut Fajar sadboy.

Gue sendiri enggak tahu kenapa Zul bisa sampai mengidolakan Fajar. Jika ditelusuri lebih lanjut, Fajar itu adalah cowok yang belum lama ini di-ghosting pacarnya. Sedangkan, Zul sudah jelas-jelas jomblo dan ia terakhir berpacaran lima tahun lalu, pada waktu dirinya menginjak kelas 6 SD. Itu aja pacarannya cuma dua hari.

"Zul, gue gibeng ya, bacot lo! Udah tau orang lagi kantong kering. Malah dibikin sad." Gue yang udah terlanjur geram sama Zul menoyor kepalanya pelan. Coba kalau gue enggak punya hati, udah gue timpuk kepalanya ke mainan latto-latto sampe benjol.

"Lebih baik kantong yang kering daripada hati yang kering, Udin. Leb—"

Untung saja Anto langsung membekap mulut Zul. Kalau tidak, Zul bakal segera gue musnahkan.

"Daripada kelahi, mending kita mikirin makanan hari ini, deh. Udah kepalang laper gue. Bentar lagi halu gegara keroncongan, tau enggak!"

Mbrototototttttt ....

Sebuah kejadian langka, perut kami bertiga meraung bersamaan. Ternyata menangis enggak hanya disebabkan putus cinta, tetapi juga kelaparan. Kayaknya sebentar lagi gue akan mengikuti jejak Zul menjadi seorang sadboy.

Tiba masa tiba akal. Untungnya, di saat genting kayak gini, otak gue tiba-tiba encer. Meskipun salat gue masih bolong-bolong (jangan ditiru!), tetapi Tuhan selalu maha baik sama hambanya.

"Gue inget ada satu pohon pete di depan kosan sebelah. Kosan yang kemarin bunganya gue cabut buat nembak si Iis laknat!" seru gue kegirangan. "Siapa tau kita bisa nyabut—"

"Ngadi-ngadi lo, Din," sanggah Anto, "kalo bunga kemaren mah masih dimaklumin ya. Tapi, nyuri pete? Kenyang kagak, mencret-mencret iya."

"Enggak dong, guvluk! Kita minta!"

Perkataan gue barusan seketika diangguki oleh kedua sohib gue. Mungkin mereka juga sudah lelah membacoti keadaan yang terlalu gila ini. Dengan memakai topeng sepuluh lapis, kami bertiga berusaha terlihat seceria mungkin di depan Ibu kosan sebelah. Siapa tahu raut ceria kita ini, enggak berhenti di pohon pete saja dan membawa berkah lain seperti; nasi padang, semur jengkol, es teler, es lilin mah ceuceu ... dikalapaan ... buset, malah nyanyi.

Jujur, setelah nyabut bunga dia kemarin, gue masih takut berhadapan sama Ibu kos sebelah. Terlebih, gue belum ada minta maaf sama sekali. Bukan apa-apa, gue cuma takut disambit sandal. Sadar betul kalau dia udah terlanjur benci sama gue.

Hanya saja sekarang udah enggak ada pilihan lain. Kalau kita enggak minta tolong, yang ada kami bertiga malah turu. Mana turunya dalam keadaan burik, lagi.

"Assalamualaikum, Ibu!" Anto berseru kuat-kuat, di sampingnya ada Zul, dan gue memilih main aman dengan ngumpet di belakang mereka.

"ENGGAK ADA DUIT!" sahut seseorang dari dalam sana. Kosan bernuansa orange itu seakan-akan menggema, terlihat beberapa anak kosan di luar kamar menutup telinga mereka. Sumpah, gue enggak bisa membayangkan ngekos di sini. Bisa semaput duluan gue.

"Nah, masa kita dikira peminta sumbangan?" Gue berdecak kesal.

Mendengar itu, Zul langsung merespon. "Lah, bukannya kita emang mau minta-minta?"

Toyoran kedua gue, kembali melayang di kepala Zul.

"Belum pergi juga kalian? Gue udah bilang enggak ada du—," Sang Ratu yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar dari singgasananya. Dia menatap kita penuh arti, lebih tepatnya arti buruk.

"Lu lu pada anak kos sebelah, 'kan? Ngapain lu kemari?" Dia mengangkat sebelah alis sambil menggaruk-garuk bokongnya. Muka kusam serta handuk yang tergantung di bahunya, membuat kami sadar kalau Ibu ini belum mandi.

"Gi ... gini, Bu," kata Anto kemudian, "kita mau minta sedikit pete Ibu buat lauk makan. Kalau Ibu enggak keberatan."

Gue nahan pipis di celana, waktu melihat ekspresi Ibu kosan sebelah ini. Matanya bulat seperti latto-latto, hidungnya kembang kempis, kayak banteng nyaris ngamuk.

Mampus! Bentar lagi kita turu!

"Ambil aja. Tapi, jangan banyak-banyak!" Ibu kosan sebelah mengorek hidungnya sebelum akhirnya meninggalkan kami bertiga masuk ke dalam.

Merayakan itu, kami bertos-tos ria. Tuhan tidak benar-benar menakdirkan kita untuk mati kelaparan kali ini. Setelah itu, kami mencabut beberapa buah pete di pohon milik Ibu Kosan sebelah.

Gue belum pernah nyobain pete. Namun, hasil dari survei keluarga Jaelani, pete adalah salah satu makanan paling enak di muka bumi. Meskipun fisiknya enggak begitu menarik, atau pun setelah makan itu buat kita bau, pete selalu bisa dicoba kala dompet menipis, tetapi tetap ingin makan enak.

Sepulang kami dari kosan sebelah, gue, Anto, dan Zul pun mencicipi pete gratis tersebut. Tak dicampur sambal, tak dicampur nasi, kami malah mengemutinya seperti es krim.

"Ternyata bapak gue bener. Pete emang seenak itu!" ujar gue kemudian yang diangguki oleh kedua sohib gue.

Itulah asal mula hobi kami ngemutin pete. Siapa pun di dunia ini harus nyobain itu. Dijamin ketagihan!

*****

Tbc.

Kamis, 12 Januari 2023

Pukul 11.59 WITA


Du hast das Ende der veröffentlichten Teile erreicht.

⏰ Letzte Aktualisierung: Jan 16, 2023 ⏰

Füge diese Geschichte zu deiner Bibliothek hinzu, um über neue Kapitel informiert zu werden!

MUJ Love Story [ON GOING]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt