Lima

1 1 1
                                    

Happy Reading !

"Oh, ayolah Kak. Masa Kakak masih tidak paham ?" gerutu Amy kesal sambil berjalan memasuki gedung perusahaan tempat ia bekerja. Perasaannya dilanda rasa kekesalan setelah kemarin Kakaknya meninggalkan Amy sendirian disana.

"Oke. Nanti Kakak ke rumahmu."

"Ah, sudahlah. Aku sibuk."

Seharusnya pagi ini berjalan baik. Namun kenyataannya salah. Pagi-pagi Kakaknya menelepon Amy untuk menanyakan sudah berapa banyak biaya yang Amy keluarkan untuk belanja kemarin. Untuk apa ditanya ?

Jelas sekali kemarin Amy sudah bilang kalau Amy tidak membawa dompet. Namun, Kakaknya itu tetap pergi meninggalkan Amy. Untung saja ada orang baik datang menolong Amy di saat Amy terjebak dalam situasi ibu-ibu yang tidak sabaran. Masa iya dengan cerita yang menjengkelkan itu Kak Stella masih tetap tidak peka ?

Amy melangkah masuk dengan percaya diri ke dalam gedung kantor, membuang semua rasa kesal sebelum ia bergelut dengan tugas dan tanggung jawabnya. Meskipun ia sudah berusaha semampunya untuk membuang kekesalannya itu tetap saja tidak berhasil. Mata cokelatnya di balik kacamata yang ia pakai, Amy mendapati beberapa pria melemparkan senyum padanya. Dan itu membuat Amy risih.

Begitu ia masuk ke dalam ruangan yang jaraknya dekat sekali dengan ruangan Pak Dewa, seketika Amy seperti orang kena setrum listrik. Pak Dewa ... Bagaimana Amy harus bersikap jika Pak Dewa datang nanti ? Mengingat dua hari yang lalu, Pak Dewa menyeretnya dalam sebuah akting yang ia ciptakan bahkan menyebut Amy sebagai tunangannya.

Semoga baik-baik saja

Amy memang berharap hari ini berjalan baik-baik saja. Pada kenyataannya, hati Amy justru berdetak lebih cepat dari biasanya. Meski sang atasan belum kunjung datang, ruang besar namun kosong terlihat rapi dan harum, tidak ada informasi apapun yang ia terima tentang atasannya, Amy belum berhasil menata baik jantungnya yang masih berdetak cepat.

"Pagi, Mbak Amy." salah satu officeboy datang ke ruangan Amy dan menyapa Amy dengan ramah. Ia membawa nampan yang di atas nampan ada teko kecil berserta cangkir khusus untuk Pak Dewa.

"Pa-Pagi juga, Mas Bo." jawab Amy gelagapan.

"Saya mau ijin ke ruangan Pak Dewa antar teh ini, Mbak."

Amy melongo. "Siapa yang suruh ? Pak Dewa juga belum datang."

"Pak Dewa yang suruh saya, Mbak. Tadi Pak Dewa telpon saya. Soalnya Pak Dewa tidak bisa menghubungi Mbak Amy."

"Hah ?" tanya Amy seperti orang bodoh. Ia langsung memeriksa ponsel yang ternyata sudah dalam keadaan mati. Dasar Amy bodoh atau bagaimana. Pantas saja dari tadi ia tidak menerima info atau apapun. Setelah bicara dengan Kakaknya tadi, Amy langsung memilih untuk mematikan ponsel.

Segera Amy menyalakan kembali ponselnya dan berdoa agar Pak Dewa tidak memarahinya hanya karena ponsel Amy mati.

Selesai menaruh teh di ruangan Pak Dewa, officeboy kembali mendekati meja Amy. Ia memperhatikan wajah Amy sedikit berbeda hari ini.

"Mbak Amy sakit ya ?" tanyanya.

"Ah ... G-gak kok. Memangnya kenapa ?" tanya Amy yang memegang kedua pipinya.

"Wajah Mbak Amy pucat. Saya buatkan teh ya Mbak."

"Ti-tidak usah, Mas ..."

"Amy, kenapa wajahmu pucat ?" tanya Pak Dewa yang baru saja datang terlihat begitu panik saat ia juga melihat wajah Amy pagi ini pucat. Kedua tangannya langsung menyentuh wajah Amy.

"Mas Bo, buatkan teh panas untuk Amy. Cepat !" perintah Dewa panik. Officeboy tersebut langsung menjalani perintah orang nomor satu di kantornya.

Ia meninggalkan ruangan itu dengan wajah ketakutan sekaligus penasaran. Sebuah pertanyaan muncul di benaknya setelah ia melihat Pak Dewa datang, ia juga terlihat panik dan tangannya menyentuh wajah Amy.

THE HARDEST THINGWhere stories live. Discover now