Bab 1 - Perkenalan

109 47 170
                                    

Vote sebelum baca
Follow me for more stories

*****

Kenalin nama gue Michael Udin Jaelani.

Gue lahir di Kota Jakarta, tujuh belas tahun silam. Dua jam setelah gue lahir, Nyokap sama Bokap gue berantem persis di depan inkubator tempat gue tidur. Alasannya, tidak lain dan tidak bukan adalah mereka mempeributkan masalah nama gue.

"Namanya Michael Jackson aja, Bapak! Mana tau gedenya bisa munwok!" seru Ibu gue kala itu sampai menarik perhatian bidan-bidan yang udah mulai kewalahan sama omelannya.

"Enggak!" Bapak gue enggak mau kalah, "nama anak kita harus Udin. Ini wasiat dari leluhur. Udin itu nama yang sakral dan bisa membawa keberuntungan."

Sampai sekarang, gue masih bingung. Kepada keberuntungan seperti apa gue akan dibawa dengan nama udik ini. Apa dengan nama Udin, gue bisa jadi milioner?

Pertengkaran tempo hari membuat seisi rumah sakit heboh. Mendengar cerita itu dari Ibu, gue sedikit sedih. Belum 24 jam gue lahir, gue udah bawa pertengkaran di rumah tangga ini. Karena enggak ada yang mau ngalah, Bapak dan Ibu memilih jalan tengah. Dan jadilah nama gue yang amat fenomenal.

Michael Udin Jaelani.

Perpaduan antara candu orang tua, ditambah marga Jaelani sebagai penutup, membawa masa-masa dewasa gue penuh drama. Gue yang memperkenalkan diri sebagai Michael enggak pernah berhasil mendapat panggilan itu.

Udin, Udin, dan Udin.

Terus aja nama itu yang disebut sama temen-temen gue. Alhasil, gue enggak bisa berbuat apa-apa lagi. Sepertinya, gue memang harus berdamai dengan keadaan dan menerima identitas gue ini.

Berbicara masalah orang tua, kedua orang tua gue keturunan betawi asli. Gue juga besar di Jakarta—lebih tepatnya Jakarta Utara. Tetapi, karena tuntutan pekerjaan, Bapak gue harus pindah ke Bandung dan menetap di sana. Gue? Tetap di Jakarta. Bosan banget rasanya tinggal bertiga doang sama ortu, apalagi gue anak tunggal. Meski begitu, dibanding Jakarta Utara gue lebih memilih menetap di Jakarta Selatan. Ya, gue cuma mau eksplor doang. Siapa tau tinggal di Jaksel bisa bikin gue jadi duta wicis.

Di Jaksel, gue ngekos di salah satu gang tempat berkumpulnya berbagai jenis anak tongkrongan. Mulai dari anak senja, sekte wibu, sampai kaum-kaum berwajah seni terapan.

Di kosan gue deket sama dua orang, Zul dan Anto. Circle gue enggak masuk dalam ketiga kategori tadi. Kami masuknya di kaum pengabdi jomblo. Di kala anak tongkrongan gang hobinya foya-foya dan bermaksiat, hobi kami bertiga tidak muluk-muluk.

Ngemutin pete.

Minuman keras, obat-obatan terlarang enggak pernah bisa mengalahkan candunya pete. Sepanjang hari, pete adalah pembangkit semangat gue dan sohib-sohib gue. Menurut gue, kami adalah tiga orang beruntung yang bisa sejatuh cinta itu sama biji hijau.

Ini masih praduga, sih. Cuman, kayaknya kecintaan akan biji hijau itulah yang membuat gue masih jomblo sampai sekarang. Ya, di samping muka minimalis nan ekonomis gue juga, ya. Gimana enggak coba, udah banyak orang good looking di dunia ini yang sadar kalau diri mereka rupawan. Sedangkan gue yang wajahnya kayak colokan listrik ini sadar juga kalau gue jelek.

"Iis, lo mau enggak jadi pacar gue?"

Entah apa yang ngerasukin otak gue waktu itu, sampai berani nembak Iis. Cewek yang gue tembak itu pun cuma meringis. Sejurus kemudian, dia merespon. Sebuah respon yang sudah gue duga sebelumnya.

"Maaf ya, Udin. Gue enggak bisa. Lo terlalu jel—," Kata-kata Iis terhenti, "maksud gue, lo terlalu baik buat gue."

Selepas itu, Iis langsung pergi meninggalkan gue disertai bunga liar di tangan kanan gue. Padahal, butuh satu jam buat nyari bunga paling bagus buat dicabut. Gue bahkan sampai kena semprot Ibu Kosan sebelah karena nyabut bunganya.

Enggak sampai situ aja perjuangan salah seorang anggota circle Pengabdi Jomblo ini. Belasan kali gue nembak cewek dan sekali pun enggak ada yang berhasil. Seseorang pernah berkata 'Sejelek-jeleknya orang, pasti bakalan nemu cinta sejatinya'. Persetan dengan semua itu! Mana buktinya? Harus berapa lusin lagi cewek yang gue perjuangin baru ada hasil? Faktanya, good looking selalu jadi yang terdepan.

"Maaf, Udin. Gue udah punya cowok."

"Din, sorry. Tapi, mending lo ngaca deh. Sekedar saran, ya."

"Lo bau pete. Enggak!"

Kurang lebih seperti itu jawaban-jawaban laknat yang sukses menghujam jantung gue. Satu hal yang gue sadari, ternyata mulut cewek bisa sesadis itu, ya. Pedih, coy!

Kendati ikan sering meng-ghosting pancing pemberi umpan atau selingkuh saat sudah membuat ribuan anak. Gue percaya, di antara banyaknya ikan di lautan, suatu saat gue akan menemukan ikan yang cocok dengan gue dan akan menerima gue apa adanya.

*****

Rabu, 4 Januari 2023

Pukul 15.12 WITA
















MUJ Love Story [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang