12. Pasien Keluhan Payudara

8.4K 44 0
                                    

Bang, kenapa diam? Kenapa ada banyak pil KB di dalam lemari? Untuk apa dan punya siapa?"

"Ya ampun, Lunar, jadi obat itu ada di dalam lemari kita? Pasti Abang lupa, Abang kirain jatoh. Jadi waktu Abang mau pulang, Bu Dasmi nitip obat itu untuk putrinya. Dia kan gak ada motor mau ke apotek, Abang taruh di jaket. Abang kirain jatoh, rupanya ada di dalam lemari. Nih, kalau kamu gak percaya, nanti kamu telepon saja Bu Dasmi. Syukur deh kalau gitu, jadi Abang gak kena gantiin beli lagi. Makasih atas informasinya ya, Neng. Simpankan dulu saja, besok baru ingatkan Abang untuk bawa obat itu ya. Abang kerja lagi, assalamu'alaikum."

Lunar bahkan belum membuka mulut untuk menanyakan hal lain lagi, tetapi suaminya sudah menutup panggilan. Hatinya yang cemas karena teka-teki pil KB, kini sudah mereda. Ucapan suaminya sangat masuk di akal bahwa obat itu titipan Bu Dasmi. Wanita itu bahkan diminta menelepon Bu Dasmi untuk konfirmasi. Tentu saja hal itu tidak akan ia lakukan, karena pasti akan sangat memalukan nama suaminya. Lagian kalau suaminya bohong, pasti tidak akan dirinya diminta menelepon Bu Dasmi.

Lunar kembali menghela napas panjang. Ia ingin keluar kamar untuk berwudhu, tetapi ia sungkan dengan Haris gara-gara insiden ia jatuh tadi. Mau tidak mau, Lunar tetap keluar dari kamar untuk berwudhu. Wanita itu mengintip ke ruang tengah, untuk melihat sedang apa iparnya tersebut. Ternyata Haris sedang memakai sarung; sepertinya akan salat di masjid.

Segera Lunar masuk ke kamar mandi. Bisa malu sekali dirinya kalau sampai Haris mengetahui biasanya mengintip diam-diam. Selesai salat magrib, Lunar menumis kangkung yang sudah ia iris-iris bumbunya terlebih dahulu. Sambil menumis, Lunar menggoreng ikan kembung kecil-kecil untuk makan malam. Harusnya ia tidak belanja banyak, tetapi karena ada iparnya beberapa hari ini di rumah, mau tidak mau ia belanja lebih dari biasanya.

"Assalamu'alaikum, wah... aromanya sedap sekali ini!" Puji Haris yang baru balik dari masjid. Masih dengan sarung dan peci, ia menghampiri Lunar di dapur. Pria itu tidak nampak canggung. Ia bersikap biasa saja, seperti tidak pernah terjadi apapun diantara dirinya dan juga Lunar.

"Wa'alaykumussalam. Goreng ikan doang, Mas, sama tumis kangkung. Sebentar lagi matang, nanti saya panggil makan kalau semua sudah siap," kata Lunar mencoba juga bersikap biasa saja. Kalimat tersebut menyiratkan bahwa agar Haris tidak berlama-lama di dapur.

"Oke deh, Lunar. Makasih ya. Maaf kalau saya udah ngerepotin adik ipar. Semoga saja besok dapat kerjaan ya, biar gak lama-lama di sini." Haris tersenyum, lalu beranjak dari dapur. Di dalam hatinya, tentu Lunar mengaminkan. Memang tidak baik seorang istri berduaan seharian dengan iparnya, meskipun ipar itu baik, tetapi jika setan sudah menggoda dan menang, maka apa yang tidak diinginkan, bisa saja terjadi.

Keduanya makan dengan lahap, tetapi tidak di meja makan. Lunar mengambilkan nasi dan lauk pauk di dalam piring untuk Haris, karena lelaki itu ingin makan sambil nonton TV. Lunar pun sama, ia makan ingin sambil menonton TV. Keduanya makan tanpa bicara, hanya suara TV yang memecah kesunyian yang terjadi di ruang TV.

"Apa setiap hari, Bira pulang di atas jam dua belas?" tanya Haris setelah ia baru saja menaruh piring kosongnya di dapur, dan tidak lupa langsung mencucinya. Lunar yang masih makan langsung menoleh menatap Haris.

"Iya, Mas, jam klinik sampai jam dua belas malam. Biasanya Bang Bira sampai rumah jam satu ataupun jam dua. Kalau Bang Bira suka mampir makan di pinggir jalan terlebih dahulu, atau nongkrong sama temannya, ya jam dua baru sampai rumah. Tidurnya jadi mau subuh, bangun-bangun jam sepuluh atau jam sebelas siang. Kaya kalobg kalau kata saya. Siang jadi malam, malam jadi siang, he he he... "

"Oh, begitu, gak papa asal dapur tetap ngebul mah. Kuncinya cuma satu, Lunar. Jangan cemburu! Tukang pijat itu apalagi yang tampan seperti Bira itu sangat jarang ada di Jakarta ini. Kalau ada pasien yang suka iseng WA atau apalah gitu, selama tidak diladeni Bira, kamu jangan cemburu. Sama kayak istri artis saja, suaminya di layar kaca peluk-pelukan itu udah gak perlu dicemburui lagi, karena memang pekerjaannya," terang Haris panjang lebar. Baru kali ini ia bicara banyak untuk satu kali momen bersama sang Ipar. Ia yang selama dua tahun ini sendirian di kos karena bekerja, seperti punya teman baik ketika bertamu di rumah adiknya.

"Iya, Mas, saya juga paham dengan kerjaan Bang Bira, makanya saya gak berani buka HP-nya, takut salah paham," komentar Lunar sambil mengangguk.

"Terima kasih nasihatnya, Mas. Saya masuk dulu ya. " Lunar bangun dari duduknya untuk menaruh piring di kitchen sling. Ia mencuci piring bekas makan lalu berwudhu sekalian agar tidak bolak-balik keluar kamar. Karena ia sendiri masih sedikit canggung dengan insiden tadi sore.

Sementara itu, Bira yang sempat gak fokus karena masalah pil KB yang ditemukan Lunar, kini sudah biasa kembali. Menjelang malam, pasiennya kebanyakan kaum lelaki yang benar-benar sakit. Ia tentu saja memijat dengan sepenuh hati sesuai dengan keahliannya. Tidak lirak-lirik nakal, apalagi yang mengantar pasien tidak cantik dan tidak montok. Ya, ia hanya senang bermain-main dengan pasien wanita atau pengantar pasien yang masih muda dan tentu saja sesuai dengan kesukaannya. Jika diluar krtiteria, maka ia akan biasa saja.

Maka bersyukurlah pasien yang kurus dan berwajah biasa saja seperti penulis, karena Bira tidak akan selera, hi hi hi

"Berapa Nak Bira?" tanya bapak tua itu setelah selesai dipijat oleh Bira.

"Seratus ribu, Pak, seperti biasa. Obatnya ramuannya jangan lupa diminum ya, Pak." Pesan Bira sambil mengulurkan sebungkus obat racikan pereda nyeri otot pada pasiennya. Pria tua itu menaruh uang di dalam box, lalu mengucapkan terimakasih. Bira tersenyum, lalu mengantar pasiennya sampai ke depan pintu.

"Berapa orang lagi, Bu Dasmi?" tanya Bira, sambil memperhatikan sekilas beberapa orang pasien yang masih menunggunya.

"Empat orang lagi, Bang Bira," jawab Bu Dasmi sembari memperlihatkan list pasien. Ada satu nama wanita yang tertera.

"Pasien wanita saja yang lebih dahulu ya. Kasian biar pulangnya tidak kemalaman!" Seru Bira memberikan pengumuman. Pasien yang lain pun harap maklum. Ini sudah jam sembilan, memang wanita lebih tepat untk diberikan antrean lebih dulu.

Wanita bertubuh kurus itu masuk dengan senyuman merekah. Bira mempersilakan wanita itu duduk dengan gerakan tangannya. Wajahnya tidak familiar, sehingga Bira dapat menebak wanita kurus ini adalah pasien baru.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak Siska?" tanya Bira setelah mengetahui nama pasiennya dari list Bu Dasmi.

"Bang Bira, saya mau minta tolong, suami saya mengeluh kalau payudara saya turun dan rata. Saya ingin menyenangkan suami bagaimana caranya agar payudara saya kencang lagi. Apa Bang Bira bisa menolong?"

Gimana mau bermain-main dengan pasien kurus, kalau dadanya saja rata?

"Apa Mbak sudah mencoba dengan olah raga?" tanya Bira.
"Udah, tapi hasilnya sama saja. Kalau minum obat memperbesar dada saya gak berani Bang Bira, takut gak bisa dikecilin lagi." Bira menggigit bibirnya menahan geli. Memangnya baju, bisa digedein, bisa dikecilin.

"Saya belum pernah mendapatkan pasien untuk mengencangkan dada, Mbak, tapi kita coba saja ya. Mari, silakan berbaring dulu di tempat tidur!" Pinta Bira dengan tak bersemangat. Wanita itu berbaring dan begitu semangat langsung menaikkan baju kayanya, disertai dengan tangan yang atau cepat membuka kaitan bra.

Bersambung
Apa yang terjadi selanjutnya? Kalian bisa mampir ke KBM App atau ebook yang sudah tersedia di play store ya

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 07, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ternyata Suamiku Dukun NakalWhere stories live. Discover now