"Alasannya?" tanya Januar.

"Perusahaan ini punya jenjang karir yang cukup baik, lo punya potensi untuk mencapai posisi yang lebih baik kelak."

Kembali Januar berdecih. "Jenjang karir yang cukup baik? terdengar lucu saat sahabat dan calon istri sahabat bosnya lah yang mengisi kursi penting di perusahaan." Januar menyindir posisi Khairi dan juga gue yang didapuk sebagai penggantinya saat ini. "Penuh nepotisme," imbuhnya kemudian. Ia melempar surat pengunduran dirinya ke lantai dengan kasar.

Entah bagaimana dengan Khairi, namun gue masuk ke kantor ini tanpa tahu bahwa Affan adalah sahabat mantan pacar gue yang menghilang, hubungan gue dengan Yiraga pun dimulai setelah gue berada di sini. Untuk keputusan mendapuk gue sebagai pengganti sampai Khairi kembali, gue tidak melihat itu sebagai bentuk nepotisme. Itu hanya dilakukan selama dua minggu, dan Ismail lah yang awalnya direkomendasikan. Namun Affan memilih gue pada akhirnya karena ia tahu watak Khairi yang enggan untuk diganggu di waktu liburnya, dan kontak yang paling memungkinkan untuk dihubungi jika ada emergency adalah Kiky, sang istri, yang mana ia adalah sahabat gue. Affan menganggap hal itu akan memudahkan segala sesuatunya kelak, maka ia memilih gue pada akhirnya untuk menduduki posisi sementara ini. Situasi itu tidak senepotisme yang Januar anggap.

Gue manarik napas panjang. "Lo udah nggak bisa lihat gue dengan cara yang positif bukan?" Gue membuat sebuah konklusi. Setelah serangkaian hal yang terjadi, sepertinya Januar memang sudah melihat gue dengan cara yang berbeda saat ini.

Tangan Januar terkepal, terlihat tidak suka dengan kesimpulan yang gue utarakan. Ia kembali bergerak untuk membuka pintu, meninggalkan surat pengunduran dirinya di lantai

"Gue tunggu sampai jam makan siang, kalau surat itu masih di ruangan ini, surat ini akan gue terusin ke Affan untuk segera diproses ke bagian HR," pungkas gue final, menghindari gejolak lain yang mungkin saja akan timbul. "Tolong pikirkan baik-baik, Januar," ucap gue memberi kesempatan terakhir.

Jam istirahat pun tiba, Januar belum menunjukkan kembali batang hidungnya kembali ke ruangan gue. Gue kembali memungut surat itu dan beranjak pergi istirahat. Gue telah mengirim pesan kepada Affan untuk makan siang bersama.

"Tumben lo ngajak gue makan siang bareng?" tanya Affan keheranan. Tanpa kehadiran Khairi di tengah-tengah kami, lebih banyak mata yang melirik dengan pandangan menilai, membuat gue merasa risih.

"Gue mulai menyesali keputusan ini," ungkap gue jujur. Affan tertawa renyah menyadari kami yang kini menjadi pusat perhatian di kafetaria.

"Lo mau ngajak makan gue sebagai bawahan, atau calon istri sahabat gue?"

"Kenapa lo bertanya kayak gitu?" tanya gue keheranan.

"Kalau lo butuh sedikit privasi, kita bisa makan di luar." Affan menawarkan, ia sangat menyadari ketidaknyamanan gue saat ini.

"Ini tentang gue sebagai bawahan sekaligus calon istri sahabat lo, nggak bisa dipisahkan."

"Well, mari kita makan di luar kalau gitu."

Gue mengangguk, mengekori Affan yang tengah menelepon supirnya untuk mengantar kami ke sebuah restoran yang terletak tak jauh dari kantor.

Setelah memesan beberapa menu, Affan membuka pertanyaan. "Jadi, apa yang terjadi?"

"Lo tau Januar kan? Salah satu rekan divisi gue yang terlibat kejadian sama Yiraga di kantor cabang tempo hari?" tanya gue memastikan.

Affan mengangguk. "Yang cukup membuat gue kerepotan menghadapi kemarahan Yiraga," ungkapnya. "Kenapa dia?"

Gue mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas dan menyodorkannya ke arah Affan. "Dia mengundurkan diri," ucap gue.

Affan mengambil amplop itu, dan membacanya dengan tenang, tanpa ekspresi, membuat gue menerka-nerka apa isi pikirannya saat ini. Setelah ia menutup amplop itu, gue pun memberanikan diri bertanya. "Baru seminggu gue ganti posisi Khairi, tapi udah ada satu karyawan yang mengundurkan diri," ungkap gue dengan sedih.

Nikah?Where stories live. Discover now