Hinata, Mimpi, dan Sebuah Kenormalan (Sementara)

177 30 25
                                    

2006

Sepuluh orang duduk melingkar di lantai, mengelilingi papan berukuran satu meter setengah yang entah bagaimana caranya berhasil Kiba selundupkan ke dalam kelas.

Di atas papan itu tertulis "yes" dan "no" pada bagian atas, rangkaian alfabet lengkap dan angka di bagian tengah, dan "hello" juga "good bye" pada bagian bawahnya. Papan ouija. Di Amerika, papan itu dipercayai dapat memanggil arwah—hantu, atau apa pun itu disebut.

Ide konyol ini awalnya berasal dari celetukan Yamanaka Ino yang ingin merasakan sensasi perayaan Halloween di sekolah. Awalnya gadis itu ingin mengadakan sebuah pesta kostum seram, tetapi jelas hanya akan menjadi angan semata. Bunkasai saja berusaha untuk ditiadakan oleh pihak guru, apalagi pesta kostum. Sekolah mereka masih kolot; sebuah sekolah menengah atas yang berada di Ukyo-ku, prefektur Kyoto. SMA Konoha namanya. Bukan sekolah yang terkenal, tetapi bukan pula sekolah buangan. Prestasi mereka cukup baik di Kyoto, tetapi jelas bukan yang terbaik.

Dan celetukan asal Ino itu diamini oleh Kiba yang belakangan ini sedang senang menonton film horor Hollywood bertema Halloween juga. Karena pesta kostum jelas sudah mustahil dilakukan karena tiada tempat dan kurangnya biaya, pemuda Inuzuka itu mengusulkan untuk mencoba permainan pemanggilan arwah ala barat pun mendekorasi kelas mereka sedikit dengan suasana seram.

Awalnya mereka berniat untuk memainkan tantangan Charlie-Charlie saja sepulang sekolah—tepat pada tanggal 31 Oktober. Nantinya akan direkam melalui ponsel Uchiha Sasuke yang paling canggih dan memiliki banyak ruang memori. Pemuda Uchiha itu hanya pasrah, kekasihnya—Haruno Sakura tampak bersemangat, dan Sasuke tak dapat menolaknya.

Pun sejak awal, kedua Hyuuga bersaudara telah menentang ide itu. Neji menganggap konyol dan tidak berguna—buang-buang waktu. Hinata yang ketakutan jika benar-benar ada yang terpanggil.

Namun, suara dua Hyuuga itu hanya menjadi minoritas bagi kelas yang berisikan dua puluh orang. Belasan yang lain setuju, sisanya malah ragu-ragu. Naruto yang bodoh, hanya tak ingin dianggap penakut—memilih setuju.

Jadilah, Kiba yang bersemangat dan entah konspirasi semesta atau hanya kebetulan belaka—Neji diserang kafunsho saat hari yang ditentukan. Kakak sepupu Hinata itu tidak dapat mengikuti kelas.

Dan tiba-tiba saja, Inuzuka Kiba malah membawa sebuah papan ouija yang lumayan besar. Tak sebagus yang di film, tetapi Kiba bilang pemuda itu membuatnya sendiri. Decakan kagum dilontarkan banyak kawan, tetapi Hyuuga Hinata malah meringis ngeri.

"Ayo, kita mulai. Jangan ditunda lagi, keburu ada yang menemukan kita di sini."

Kiba meletakkan planchette di atas papan itu, tampak sangat bersemangat. Namun sejak kejadian Hinata yang memperingati mereka dan Tenten nan marah pada si pemuda Inuzuka—euforia peserta menjadi agak turun.

"Kau keterlaluan Kiba," Shino menghela napas. "Aku melakukan ini semata-mata karena Hinata dan Tenten percaya padaku."

"Kenapa menyalahkan aku? Kalian sudah setuju juga dari awal 'kan?" Kiba mendengkus, Lee tampak lelah—suatu yang jarang terjadi. Pemuda beralis tebal itu meletakkan jari telunjuknya di atas planchette.

"Sudahlah, lebih baik kita mulai saja. Lebih cepat selesai, lebih baik." Rock Lee mengusahakan sebuah kurva di tubirnya. "Ayo, kalau gagal—kita akan minta maaf pada Hinata dan Tenten, mungkin juga Neji akan marah pada kita."

Para peserta sore hari itu mulai meletakkan telunjuk mereka.

Kedua telinga Naruto masih berdenging, bahkan pemuda Uzumaki itu kini tak dapat mendengar dengan baik apa yang kawan-kawannya katakan.

That DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang