Bab 17: The Confession

Mulai dari awal
                                    

"Born ... out of ... wedlock ... father ... stateless ... defend ... birthright ... make fake .... birth certificate."

***

Martha dikirim kembali ke dalam selnya. Sel-ku. Ketika semua barangnya dilucuti, satu-satunya yang menjadi identik dengan dirinya hanya sel tempat Martha dikurung. Ia masuk ke dalam sel yang kini kosong dan duduk di lantai. Ia ingin protes!

Bagaimana mungkin semua kompleksitas situasinya diringkas hanya dalam beberapa kalimat? Mustahil ...

Sesuatu yang menghantuinya selama bertahun-tahun, di hadapan banyak orang hanya berita receh. Diketik tanpa perasaan. Digumamkan seadanya.

Untuk inikah ia menderita? Fragmen kenangan ketika ia pertama mendengar kata anak luar nikah terlintas seperti potongan film.

1995

Awal mula tahun ajaran baru. Seperti biasa, guru terkadang meminta daftar fotokopi dokumen yang kurang. Martha membawa fotokopi akta lahirnya dan menaruhnya di atas meja. Siapa sangka, salah satu teman sekolahnya, mengambil aktanya, membacanya keras-keras. Keisengan anak kelas 4 SD.

Martha tak pernah membaca akta lahirnya dengan seksama. Penuh dengan tulisan yang baginya tidak penting. Seandainya Martha teliti, ia mungkin akan menyembunyikan aktanya.

"Martha Goenawan." Suara lantang temannya membaca akta bak membaca Pembukaan UUD 45. Martha tak menghiraukan temannya, ia sibuk memakan nasi goreng buatan Mama.

"Martha ... ANAK LUAR NIKAH!" Teriakan temannya membahana ke seluruh kelas. Martha nyaris tersedak. Anak luar nikah? Akta kelahiran Martha dalam sekejap berpindah tangan, seisi kelas membaca dan mengeja namanya.

"Wah benar! Luar nikah!"

"Martha anak haram!"

"Anak haram!"

Darah Martha mendidih. Ia yang biasa pendiam dan tak banyak bicara, tiba-tiba berlari menyambar kotak pensil besinya dan dengan membabi-buta memukuli teman-teman pria yang menertawakan dirinya. Semakin dipukul, teman-temannya semakin menjadi. Ia baru berhenti ketika terdengar suara menggelegar dari depan pintu. Ibu Kepala Sekolah berdiri di sana. Beberapa teman prianya yang tadi tertawa tiba-tiba meringis kesakitan akibat pukulan Martha. Martha tidak menangis. Wajahnya beku bahkan ketika ia dijewer oleh Ibu Kepala Sekolah dan dihukum berdiri di lapangan upacara.

Tak ada yang bertanya mengapa Martha yang biasa pendiam memukuli teman-temannya. Yang dilihat oleh kepala sekolah, Martha yang ganas. Terkadang penyebab kemarahan terkubur dibalik tindakan yang dilihat mata.

Martha melihat bayangan bendera berkibar di atas kepalanya. Ia bersumpah, ia tak akan membiarkan orang lain membaca aktanya. Setelah amarahnya surut, sebuah pertanyaan membakar hatinya.

Anak luar nikah. Apa maksudnya?

Martha sudah cukup besar untuk mengerti arti kata anak luar nikah. Dari TV dan sinetron ia tahu mengenai anak haram, hamil di luar nikah, dan diperkosa. Tapi benarkah ia anak haram? Ingatannya menuju ke sebuah foto lawas. Foto pernikahan Papa dan Mama. Papa muda dan kurus dengan senyum lebar dan jas yang kebesaran. Mama menggenakan seuntai kalung emas tipis, tersenyum malu-malu. Martha yakin, foto itu akan memberikan jawaban apakah ia sungguh anak haram.

Setibanya di rumah, Martha tak langsung menuju ke meja makan. Ia naik ke atas sofa, berjingkat berusaha menggapai foto pernikahan Papa Mama yang tergantung di dinding. Perlahan ia mengambil foto itu dan memeriksanya dengan seksama. Di bawah foto tercetak tanggal dengan tinta hijau. Tanggal itu dua tahun sebelum Martha lahir. Ia menarik nafas lega dan mendekap foto itu erat-erat.

PERKUMPULAN ANAK LUAR NIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang