Scene 8

129 3 0
                                    

"Baru kali ini saya menemui orang yang sama sebelum dan selepas berdoa."

Ami menundukkan kepala ke arah pria yang berdiri di dekat altar. Sedari tadi Ami dalam keadaan setengah sadar, hampir tertidur, dengan kepala mendongak tanpa acuh ke langit-langit gereja yang dipenuhi mural penuh nuansa surgawi. Mural yang membosankan.

"Anda memuji saya?"

"Ya," Eugene menyahut tanpa terdengar sakit hati sama sekali, padahal Ami berniat menyinggungnya tadi. "Karena hanya tersisa kau di sini."

Menyadari kata-kata itu, Ami menoleh ke sekeliling dan menyadari, kata-kata Eugene ada benarnya. Hanya dirinya seorang yang tersisa di seluruh gereja itu. Bangku-bangku di belakangnya, sepi tanpa seorang pun jemaat yang tersisa untuk berdoa. Lilin-lilin di altar pun sudah mati semuanya, meleleh menjadi cairan putih beku yang memenuhi persembahan.

"Apa ada sesuatu yang Anda doakan?"

Ami nyaris tertawa mendengar pertanyaan itu. "Tidak, saya hanya kebetulan ketiduran di sini tadi."

"Ah." Ami melirik, menduga akan mendapatkan tatapan sinis atau sakit hati, tapi rupanya tidak. Eugene masih tersenyum menatapnya. "Apa tidur Anda nyenyak tadi?"

Ami mengangkat sebelah alis. "Sampai Anda membangunkan, ya. Saya lumayan nyenyak tidur di sini."

Eugene masih juga tersenyum. "Syukurlah. Saya senang gereja ini bisa jadi tempat yang cukup tenang bagi seseorang untuk tertidur."

Ami mendengkus. "Bukannya orang biasanya akan sakit hati?" sahutnya, tidak lagi bsia menahan kekesalan. Pastur itu, entah punya kesabaran sefleksibel karet atau memang tidak punya lagi urat marah di kepalanya. "Aku baru saja menggunakan tempat yang tidak sesuai dengan tujuannya."

Ami benar-benar tidak suka senyuman Eugene. Seseorang yang terlalu banyak tersenyum tanpa perubahan ekspresi, tanpa menunjukkan sedikit pun kemarahan padahal sudah diejek, benar-benar menakutkan dalam artian tersendiri.

"Tempat hanyalah tempat," Ami mengerutkan kening ketika jawaban itu keluar dari mulut Eugene. Di udara, terasa sesuatu yang berbeda. Tapi masih terlalu tipis. Ia melirik ke belakang, melihat masih kursi kosong yang ada di sana, tapi sesuatu terasa lain. Ada sesuatu yang mengganjal, tapi ia tidak tahu apa. "Yang penting adalah isi hati. Doa-doa yang dipanjatkan. Jika semua itu lebih banyak dari satu orang yang tertidur, fungsi tempat ini tidak akan berubah, kan?"

Ami mengernyit. Ada sesuatu yang salah dari kata-kata itu. Sangat salah. Tapi ia hanya tersenyum.

"Seolah Anda bisa tahu isi hati dan doa semua orang yang ada di sini." Perbincangan ini mulai terasa menarik. "Bagaimana bisa Anda menjamin semua doa dan isi hati yang dipanjatkan di tempat ini semuanya demi kebaikan seseorang? Bisa saja ada yang berharap kematian untuk orang lain atau keburukan di tempat ini. Anda tidak akan tahu itu, kan?"

"Kalau menilai kebaikan dan kejahatan, semua orang pasti punya definisi berbeda," sahut Pastur Eugene. "Karena keadilan bagi setiap orang juga berbeda, kan?"

Ami mendengkus menahan tawa. Membawa nama keadilan begitu mudahnya, ia mulai bisa memahami dari mana perasaan janggal yang tadi ia rasakan. Tapi tetap saja, ia masih menganggap pembicaraan ini menarik. Ami mendongak, menatap salib raksasa yang dipajang di atas sana. Di hadapan salib itu, patung malaikat yang merentangkan tangan berdiri kokoh.

Tidak ada simbol sang anak Tuhan.

"Lucu sekali."

"Hm?" Eugene menoleh kepada Ami. "Apanya yang lucu?"

"Anda bicara tinggi sekali soal keadilan, seolah keadilan itu memang pernah ada di udnia ini," Ami mendongak, lalu mengacungkan jari tengah pada salib raksasa di hadapannya. "Anda tahu, Eugene, sesuatu tidak akan terus dicari jika dia memang benar-benar ada."

Iblis Itu Pacarku [21++]Where stories live. Discover now