1. Pertemuan Pertama

4.6K 385 13
                                    

"Hei, bengong aja?" Suara bariton milik seseorang yang tak dikenalnya sukses menyadarkan Sonya dari lamunan akan masa kecilnya. Ia menoleh, dan didapatinya seorang cowok tengah tersenyum manis padanya.

"Boleh kenalan, nggak?" tanya cowok itu seraya mengulurkan tangannya.

Sonya mengernyit. "Elo siapa?"

"Makanya kenalan dulu," balas cowok itu. Matanya memancarkan sinar hangat yang ramah.

"Sonya Shafeera Handini," ucap Sonya seraya menjabat tangan cowok itu.

"Raka Adinata," balas cowok itu, tersenyum lagi.

Sonya melepas jabatannya dengan cowok itu, lalu kembali memandangi taman rumah sakit dengan tatapan kosong.

"Jangan ngelamun lagi, dong," ujar Raka. "Elo pasien di sini juga 'kan? Kalo boleh tahu, lo sakit apa?"

"Elo nggak perlu tahu," sahut Sonya cuek. Ia sama sekali tidak mengalihkan tatapannya ke cowok itu.

"Hmm, jutek banget," jeda Raka, "nanti nggak ada yang suka, lho," godanya.

"Elo baru kenal sama gue aja udah rese banget, ya," Sonya menatap Raka dengan pandangan tak suka. Sedangkan yang ditatap seperti itu hanya terkekeh pelan.

"Emangnya, umur lo berapa?"

"Kepo amat."

"Ya ampun, jutek banget sih lo, Nya," keluh Raka sambil berpegangan pada birai kursi roda Sonya.

"Nyesel 'kan lo, kenal sama gue?"

"Nggak. Gue pengen kita sahabatan," tukas Raka seraya tersenyum lebar. Satu alis Sonya terangkat. Sepertinya cowok ini tidak menyerah meskipun ia memasang benteng setinggi apa pun.

"Gue nggak mau sahabatan sama lo."

"Biar gue tebak. Umur lo sekitar enam belas tahun, bener 'kan? Gue tujuh belas tahun," celetuk Raka yang dibalas dengan mata membulat oleh Sonya.

"Kok elo tahu?"

"Berarti bener?"

"Au ah."

"Nggak mau tahu, mulai hari ini Raka dan Sonya adalah sahabat sehidup semati yang hanya akan dipisahkan oleh maut," tukas Raka yang membuat mulut Sonya menganga.

"Apaan sih—"

"Besok kita ketemu lagi di sini. Bye, Sonya cantik!" Sonya mendengus sebal ketika dilihatnya Raka berbalik entah kemana, meninggalkannya yang masih terheran-heran.

••• Painkiller •••

Sonya kembali ke kamar rawatnya dengan mood yang terlanjur rusak gara-gara Raka. Dilihatnya Rania—mamanya—sedang duduk santai sambil membaca sebuah buku tentang penyakit sirosis hati dengan serius. Sonya mengembuskan nafas berat, ia lalu berdeham dan saat itulah Rania sadar Sonya telah tiba.

"Sayang, tadi kamu abis darimana? Ke taman, ya? Mama tinggal sebentar aja kamu langsung keluar. Lama nggak? Keanginan, ya? Kamu—"

"Dianter Suster Eva kok, Ma."

"Sayang, kamu jangan—"

"Aku mau tidur, Ma," potong Sonya seraya beranjak naik ke tempat tidur yang sudah dihuninya selama berbulan-bulan.

"Sonya, cepet sembuh ya, nak," gumam Rania setelah melihat Sonya mengatupkan matanya, terbang ke alam mimpi.

••• Painkiller •••

"Suster, aku mau ke taman. Anterin dong," rengek Sonya setelah menelan beberapa pil obat beserta segelas air putih. Ia menatap suster yang sudah berlangganan merawatnya selama bertahun-tahun itu dengan penuh harap.

"Nanti Bu Rania marah, Sayang. Kamu nggak boleh banyak keanginan," jeda Suster Eva, "Buat hari ini, nggak usah, ya?"

"Please, Sus. Aku bosen di sini  terus," bujuk Sonya, memasang wajah semelas mungkin.

"Oke. Tapi sebentar aja, ya?"

"Iya, Sus! Yeay!" Mata Sonya berbinar ketika Suster Eva mengambil kursi rodanya. Dengan hati-hati, Suster Eva membantu Sonya naik ke kursi roda. Setelah itu, mereka meninggalkan kamar rawat penyakit dalam itu dan menuju ke taman rumah sakit.

••• Painkiller •••

"Setengah jam lagi, Suster akan ke sini jemput kamu," kata Suster Eva. Sonya mengangguk riang seraya tersenyum.

Setelah Suster Eva pergi, Sonya merasa hatinya kosong. Diam-diam ia bertanya-tanya, kemana Raka? Tak dapat dipungkiri, ia menginginkan kehadiran Raka saat ini.

"Hei, nyariin gue, ya?" Sonya tersentak ketika melihat Raka yang tiba-tiba muncul dari belakang. Cowok itu tetap seperti kemarin; dengan pakaian rumah sakit, wajah pucat, dan senyuman tulusnya.

"Elo kok tahu, gue di sini?"

"Kemarin juga, elo ke sini jam segini," jawab Raka. Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru taman. Seperti mendapat ide, ia tersenyum menatap adanya tanaman mawar yang terletak tak jauh dari tempatnya.

"Tunggu bentar."

"Mau kemana?"

Persekian detik kemudian, Raka kembali membawa setangkai bunga mawar putih yang tadi dipetiknya.

"Buat Sonya yang paling cantik," kata Raka sambil berjongkok di hadapan Sonya, lalu mengulurkan bunga itu pada Sonya.

Pipi Sonya memerah.

"Apaan sih, Ka," kata Sonya malu-malu. Ia menundukkan kepalanya, tak mampu menatap mata Raka yang kini menatapnya intens.

"Gue harap, kita bisa sahabatan selamanya," ujar Raka dengan senyum terpatri di wajah tampannya.

Deg deg deg.

Apaan nih? Kok jantung gue lost control gini? Nggak beres, nih, batin Sonya.

Sonya tersenyum tipis, "dari kecil gue nggak punya sahabat."

"Hmm—"

"Gue sakit sirosis hati, sejak umur enam tahun. Ironis 'kan?" Ungkap Sonya akhirnya.

Raka terperangah. "Sirosis hati?" ulangnya. "Terus elo berhenti sekolah?"

"Dulunya home scholling, tapi udah tiga bulan ini berhenti, karena kondisi gue makin parah," jelasnya. Raka mengangguk-angguk paham.

"Elo sendiri, sakit apa, Ka?"

"Gue nggak bisa ngasih tahu, Nya."

"Ih, elo curang. Katanya sahabat, masa nggak mau ngasih tahu?" Sonya mendelik kesal, yang justru dibalas tawa kecil oleh Raka.

"Suatu saat juga elo bakalan tahu, Nya," ujarnya seraya mengacak rambut Sonya pelan.

"Kamar rawat lo di lantai berapa? Nomer berapa?"

"Kepo lo."

"Ih, Raka! Seriously, gue pengen tahu," kata Sonya sambil meninju bahu Raka pelan.

Raka terkekeh. "Suatu saat elo akan tahu, kok. Tapi, nggak sekarang. Maaf, ya."

Sonya mengembuskan nafasnya. "Ya udah."

"Kalau kamar rawat elo dimana?"

"Lantai lima nomer 97."

"Sonya, ke kamar yuk!" Sonya menoleh ketika didengarnya seruan Suster Eva. Gadis itu cemberut ketika mengetahui waktunya di taman sudah habis. Raka yang melihatnya hanya bisa tertawa.

"Sana, gih. Besok ke taman lagi, ya, jam empat sore, kayak sekarang," kata Raka yang dibalas anggukan oleh Sonya.

"Bye, Raka."

"Bye, Sonya."

Dan setelahnya, Suster Eva pun mendorong kursi roda Sonya meninggalkan taman itu.

__________

Hai ^^ gimana part satunya? :3 jangan lupa vote dan comment, ya :) thanks x

Salam, Dena.

PainkillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang