Tiap manusia punya titik didih

Start from the beginning
                                    

"I'm okay. Ngapain sih? Berantakan nih rambutnya."

Nanang malah menyengir.

"Katanya kalau ngusap kepala anak yatim, pahalanya banyak Ai."

"Anjing ya lo kak!" Umpatan pelan dari mulut gadis itu malah mendapat tawa yang banyak dari Nanang hingga Ailenpun ikut tertawa bersamanya.

Iya, pria itu tidak mengucapkan bela sungkawa, ia malah mencandainya namun itu pula yang membuat Ailen merasakan perbedaan. Dulu setiap mengungkit kepergian sang Ayah ada kesedihan yang turut di sana namun kali ini Ailen tidak merasakan apapun seolah kehilangan itu hanya hal biasa dalam hidup ini. Nanang membuatnya biasa saja, Nanang membuatnya... baik-baik saja.

"Orang tua gue masih lengkap dua-duanya, tapi jarang banget gue ketemu."

"CEO perusahan besarkah kak?"

"Hahaha ngawur, orang tua gue cuma pengusaha." Jawab Nanang, kali ini ia bercerita sembari membereskan kekacauan mereka di kitchen bar dengan bekas bubuk kopi, cipratan susu serta krimer.

"Mereka bener-bener orang yang enggak punya awalnya, susaaaaah banget. Tapi nyokap gue ambisius Ai, gigih banget ditambah dia dapat suami yang pekerja keras. Waktu kecil kita tinggal di kontrakan petak, gue inget waktu itu gue masih SD,"

Nanang tidak melanjutkan kalimatnya, ia mencoba mengingat-ingat lagi memori yang harusnya sudah ditutup rapat, namun antusianya Ailen yang selalu bertanya...

"Terus? Terus gimana?"

Membuat Nanang mau tidak mau menceritakannya.

"Mereka punya tabungan lebih sebenarnya buat dapat kontrakan yang lebih layak buat tiga orang tapi mereka lebih memilih pakai itu buat nyewa toko di pasar dan nambah modal, uangnya muter di situ aja. Enggak cuma uang mereka, perhatian mereka juga ke sana semua, ke toko, ke toko dan ke toko.

Gue enggak dapat perhatian secara kasih sayang ataupun materi. Tiap pagi kalau gue ditinggal ke pasar, gue cuma dikasi sebungkus mie instan goreng buat dimakan, setiap hari bertahun-tahun begitu.

Sampe sekarang gue enggak bisa makan mie instan.. mungkin trauma kali ya? Atau muak?

Mereka enggak tahu gue dibully karena gue bau... ya gimana gue enggak diajarin mandi dan bebersih yang layak, atau pakai baju yang cocok, gue kayak anak kurang gizi, enggak ada yang mau temenan sama gue kecuali si Dimas, nah Mama Dimas inilah yang akhirnya ngajarin gue ini itu, bukan nyokap gue."

Ada hening sejenak sebelum Arjuna melanjutkan kalimatnya dengan sangat lirih.

"Hm, bukan nyokap gue. Mereka punya Panji pas gue kelas 4 apa 5, tapi kalau elo kira Panji dapat perhatian? Salah, orang tua kita tetap gila kerja.

SMP mau ke SMA ekonomi keluarga gue bener lagi bagus-bagusnya, kita pindah ke sini, Papa mulai punya hobby, ya lo liat mobil antik di depan itu punya bokap. Gue kira mereka bakal settle down dikit, tapi ternyata sama aja, mereka bahkan lebih sering nginep di ruko dari pada di rumah, kalau gue atau Panji punya masalah mereka baru pulang.

Tapi Panji beruntung punya gue yang ngurus dia, perhatian sama dia, soalnya gue enggak mau adek gue kayak gue. Gue belajar masak biar dia enggak muak sama mie instan, gue ajarin dia mandi yang bersih, berpenampilan, jadi temen, abang sekaligus orang tua. Panji beruntung... dan gue enggak seberuntung Panji."

Sumpah, Ailen ingin memeluk pria yang kini tersenyum getir itu.

"Terakhir ketemu sama Mama Papa kapan kak?"

"Sebulan lalu kayaknya mereka pulang bentar karena Panji ulang tahun, dua hari lalu juga mereka ke rumah sebentar sebelum ke Yogya tapi cuma Panji yang ketemu, gue enggak."

Cycle mateWhere stories live. Discover now