46. Stop Bahas Drew

28 8 0
                                    

            Kejadian yang tak pernah dilupakan oleh Sha yakni saat masih kelas sepuluh. Dia menjadi penonton saat lombak cerdas cermat antar kelas di sekolah. Karena ketidaktahuannya mengenai kandidat yang mengerjakan soal sulit itu, dia langsung mengatakan jawaban peserta itu salah saat juri menanyakan kebenarannya pada penonton. Sontak saja, riuh orang di sekelilingnya memberikan teriakan saat juri malah mengatakan jawaban peserta tadi benar.

Sha berdiam diri selama seminggu di kelas sebab tindakannya masih menjadi pembicaraan hangat. Bertahun-tahun lamanya, dia masih menganggap hal tersebut sangat memalukan sampai pagi tadi, Drew menjatuhkan hal mengejutkan jika selama ini, lelaki dari divisi IT tersebut menjadi kliennya selama ini.

Nasib Sha sungguh sial! Di antara semua orang di CRIMSON, kenapa harus lelaki menyebalkan berengsek itu, sih? Dia tidak hanya malu. Rasa jengkel dan gondok menggerogoti kepala dan hatinya. Namun, dia tak bisa melampiaskan kegilaan ini jika Puspa masih di tempatnya. Temannya satu itu masih berada di kasur ketika Sha datang.

"Akhirnya kamu pulang." Puspa menggerakkan sepasang kaki di udara terlebih dahulu, lantas mengayunkannya hingga tubuhnya bergerak naik. Rambut panjang sebahu itu acak-acakan, tetapi Puspa tak peduli. "Makanan udah aku pesan." Telunjuknya diarahkan pada meja kecil di tengah-tengah selimut.

Dua wadah berisi salad yang masih terbungkus, dilengkapi peralatan makan lainnya, mengundang Sha untuk mendekati ke meja. "Trims, berhubung aku udah lapar.

Perempuan yang masih di kasur tersebut, bergerak ogah-ogahan hingga mengambil posisi membungkuk di lantai. Posisi itu yang menggiringnya hingga tiba di depan Sha. "Aku masih ngantuk, tapi aku terbangun karena lapar, tapi kamu malah enggak ada. Untungnya aku nemuin catatanmu di nakas."

"Semestinya kamu enggak nungguin aku, Upa. Maaf, ya."

"Mana enak makan sendiri kalau nginap di tempat teman." Puspa mulai membuka bungkus wadah lantas menghidu aroma buah segar, keju, dan mayonnaise. "Aku pengin nanyain sesuatu. Boleh enggak?"

Sha bergeming dan belum membuka suara karena sedang memikirkan pertanyaan penting apa yang akan meluncur dari perempuan bertampang penuh rasa ingin tahu. Saat menyendok anggur, dia pun memberikan persetujuan. "Tanya aja."

"Kamu lagi bete, ya?"

Tahu-tahu, Sha harus menahan diri untuk bersikap biasa-biasa saja. Amarahnya mulai kembali dan jika meledak, semuanya akan terbongkar. Tampangnya mungkin bisa menjelaskan kemungkinan itu pada Puspa, tetapi Sha bingung harus menjawab. Pada akhirnya diputuskan untuk jujur. "Ya. Tolong, kamu jangan tanya aku bete karena siapa." Dimasukkan potongan buah ke mulut. Sekian detik, dia bertanya, "Apa pernah, saking malunya, kamu malah pengin mengamuk, Upa?"

"Itu yang lagi kamu rasain?" Puspa membeliak. "Kamu pengin aku angkat kaki sekarang juga?"

Puspa memang tak tertebak. Satu keunikan perempuan ini yang membuat Sha nyaman. "Sebaiknya, kamu tetap di sini, kalau enggak, aku bakal mengamuk. Maksudnya, aku enggak pengin mengamuk karena perasaan yang menyebalkan ini. Aku marah banget setelah sebuah rahasia terungkap dan itu membuatku amat malu."

"Kalau begitu, kita perlu makan yang banyak hari ini."

Walau Sha tidak berdiet, asupan makananya tiap hari tetap dibatasi. Semata-mata agar Sha tak perlu syok jika beratnya mendadak naik. Usulan Puspa segera diamini. Mereka memesan banyak makanan; camilan, buah (karena stok di lemari pendingin kosong), beberapa makanan junk food, dan es krim.

Anehnya, makanan berlebiha itu tak membuat keduanya kenyang. Pada dasarnya, Puspa memang senang mengemil berbeda dengan Sha yang hari ini moodnya kacau hingga makanan bisa saja menjadi solusi terakhirnya.

"Kamu niat nikahnya umur berapa, Sha?" Puspa membuka obrolan ketika film Harry Potter seri pertama sudah tayang selama tiga puluh menit.

Sha tidak berkedip tatkala menjawab pertanyaan tersebut. "Aku harus sukses sebelum 30 tahun kalau enggak pengin terus direcoki sama Ibu." Sekilas, dia teringat pada Gio. Orang tuanya pasti sudah mulai tenang, tetapi tunggulah beberapa bulan, mereka akan menanyakan kepastian hubungannya dengan rekan sedivisinya itu. "Kenapa kamu masih jomlo?"

"Enggak ada cowok yang pengin deketin aku."

Jawaban itu terasa janggal di pendengaran Sha. Puspa sudah cukup menarik walau tanpa polesan mekap. Wajah bulat kecilnya menggemaskan. Pun mulut dan hidung bangirnya. Dilihat dari sisi mana pun, Puspa tak memiliki celah. Bekas jerawat pun tidak ada. "Bukannya kamu lagi deket sama rekanmu? Cowok jangkung itu, lho. Joshua, kan?"

"Aduh, aku terbebani deh kalau orang-orang bilang aku lagi dekat sama Josh."

Detik setelah mendengar pengakuan temannya, Sha kemudian menoleh. "Hah? Kenapa kamu mesti keberatan? Seenggaknya dia pintar dan tampangnya oke. Nyari cowok dengan dua kriteria itu enggak gampang, tahu."

"Soalnya, semua orang berpikir Josh mendekatiku karena naksir. Padahal, kami sekadar cocok aja. Aku merasa nyambung kalau mengobrol sama Josh, Sha. Enggak perlu menjadi pihak yang cuman mendengarkan dan mengajukan pertanyaan terus-menerus agar obrolan di antara kamu tetap jalan." Puspa mengambil camilan lain dan membuka bungkusannya. "Waktu aku bareng ke Bali, aku udah siap kalau cowok itu menganggapku ngebosanin, sepanjang perjalanan cuman diam dan tidur. Suatu waktu, aku lagi mandangin awan dan berusaha menebak bentuknya. Eh, Josh langsung nimbrung. Berikutnya, aku udah enggak canggung ngobrolin hal remeh kayak, kenapa, sih, ikan di akuarium mesti dikasih oksigen padahal di laut mereka enggak perlu diapa-apain biar bisa hidup."

Usai mendengar cerita panjang itu, Sha lantas menguraikan senyumnya. Baru kali ini, dia bisa tersenyum tanpa beban. "Nah, kan, artinya dia pinter. Kamu enggak ada rasa sama dia?"

"Belum ada," sahut Puspa dengan santai. "Aku belum pernah baca novel Harr Potter ini. Tapi, Drew pernah bilang kesal banget sama karakter Ronald Weasley di film."

"Dinovelnya, karakternya enggak dibikin sebego ini, sih." Sha lantas cemberut saat sadar sebuah nama baru saja merusak mood-nya. Pada Anne pun, Sha juga tak bisa menceritakan betapa menyebalkan lelaki satu itu. "Dia baca Harry Potter juga?"

"Oh, kamu pasti iri dengan koleksi novelnya yang dibeli dari banyak negara. Aku pernah nanya apa duitnya enggak sia-sia gitu beli novel yang isinya sama?"

"Orang yang punya simpanan buat makana selama beberapa tahun ke depan, mana sempat mikir kayak gitu, Upa." Sha melirik Puspa dengan kesal. "Ngapain, sih, kita malah bahas cowok satu itu. Kan, aku lagi kepo tentang kamu sama Josh!"

"Kubilang, kami enggak ada hubungan apa-apa. Josh dasarnya enak aja diajak ngobrol. Siapa pun pasti nyambung sama dia."

"Siapa tahu dia beneran suka sama kamu, gitu?"

Puspa menaikkan telunjuk yang mengarah pada layar di depan. "Daniel Radcliffe masih eksis main film enggak, Sha?"

"Aku enggak tahu. Sebenarnya, aku jatuh cinta dengan Harry Potter bukan sama Daniel Radcliffe. Tipe cowokmu seperti apa?"

"Simpel aja." Puspa menyandarkan tubuh di dinding lalu mengambil guling yang sudah berada dalam pangkuannya. "Aku nyaman dan nyambung ngobrol sama dia. Di antara semua fans yang enggak berhenti ngasih perhatian, kenapa belum ada yang menarik perhatianmu."

"Karena mereka enggak spesial."

"Termasuk Gio?"

"Gio spesial." Sha tidak berbohong. Lelaki itu memiliki tempat tersendiri di hatinya. "Tapi, aku belum bisa jatuh cinta dengannya." Sha memejam. Dia teringat obrolan-obrolan serunya dengan Andi. Detik selanjutnya, rasa senang itu menjelma benci yang menggebu-gebu saat menyadari siapa teman dunia mayanya itu.

"Aku harap kalian berjodoh. Aku enggak dekat sama cowok itu, tapi aku tahu, Gio jauh lebih baik dari pada Drew."

"Upa, kenapa, sih, kamu selalu ngomongin tentang Drew?" Sha tak mampu menahan lagi gejolak di hatinya. "Pokoknya, mulai hari ini, kamu enggak boleh menyebut nama cowok berengsek itu sampai kapan pun!"

***

Pinrang, 18 Oktober 2022

It Should been Over [END]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ