9. Sandal Hello Kitty

56 14 0
                                    

Elgio Mahasta: Calon kandidatku ada empat orang, nih, Sha. Tapi, dua di antaranya sama dengan yang kamu pilih.

Eisha Faranisa: Bentar, kayaknya aku tahu, deh. Kamu suka dengan penulis artikel yang bahas hobi sama mental health itu, kan? Yuk, diskusiin empat orang ini.

Elgio Mahasta: Iya, tahu banget, ya, kamu. Tapi, kita enggak usah diskusi segala. Udah jelas, kok.

Eisha Faranisa: Gi, masih pagi, lho, ini. Harusnya masih semangat, dong. Jangan-jangan belum ngopi.

Elgio Mahasta: Aku udah di kantor, ya. Lagi bikin minum. Pengin juga?

Eisha Faranisa: Hahaha, makasih, tapi aku lagi ngurangin asupan gula, nih. :( Hei, semalam aku maraton serial yang kamu rekomendasiin. Astaga, seru banget!

Elgio Mahasta: Kebetulan aku sedang nonton telenovela. Premisnya lumayanlah.

Eisha Faranisa: Telenovela? Are you kidding me? Berasa produk lawas banget, sih, Anda.

Elgio Mahasta: Biarin, yang penting tetap ganteng.

Bibir atas Sha berkedut. Dia akan membalas lanjutan chat, tetapi dehaman menghentikan niatan tersebut. Di sampingnya, Anne yang menyetir kembali mendeham dengan nada menggoda. "Apa, sih?"

"Masih pagi udah senyum-senyum. Pasti Gio, deh. Jarang ada cowok lain yang bikin kamu semangat balasin chat. Mana senyumnya lebar banget."

Sha memasukkan ponsel ke tas. Dia membalas komentar sahabatnya dengan lirikan singkat. "Gio laporan tentang kemungkinan penulis yang bakal keterima magang di divisi kami. Suka melantur kamu."

Anne menampilkan ekspresi wajah dramatis, mata membeliak dan mulut melongo. "Dari sejak masuk ke mobil, kamu udah cuekin aku. Aku berasa jadi sopir, tahu." Anne mengulas senyum, tatapannya berfokus pada jalanan di depannya yang mulai ramai.

Jarak tempat Sha dan Anne berlawanan arah. Makanya, dia jarang menumpang bersama temannya ini kecuali Anne bangun lebih pagi, seperti hari ini.

"Habis ngomongin kerjaan, lanjut ngobrol plus-plus, ya?"

Demi merespons ucapan tersebut, Sha memutar bola mata. "Mau tahu, aja!"

"Kalian tuh cocok, Sha. Aku enggak mengerti kenapa kamu berusaha menolak kehadiran Gio. Dia baik, pinter, bonusnya ganteng. Ah, satu lagi, bapaknya tajir."

Gio memang paket lengkap. Namun, semua kelebihan itu belum mampu menggerakkan hatinya. "Aku pengin temenan aja sama dia."

"Teman tapi mesra, nih?" Anne lantas tertawa saat ditepuk oleh Sha. "Mau sampai kapan kayak gitu? Gio bisa saja capek nunggu dan akhirnya kabur buat mengerjar cewek lain. Kamu? Akan menyesal dan kemungkinan besar enggak bisa mendapatkan cowok seperti Gio."

"Oh, kamu ngomongin diri sendiri?" Anne membuang napas. Jika mereka berhadapan, Anne akan membalas dengan pelototan, tetapi dalam posisinya yang sedang menyetir, sahabatnya itu hanya memanjangkan tangan untuk menepuk lengan Sha. "Kasusku jelas beda banget sama kamu, Sha. Saat aku memiliki ketertarikan dengan seseorang, aku bakal menerimanya tanpa pikir panjang. Lalu, putus ketika kami mulai enggak cocok. Kamu, jelas enggak kayak gitu. Temenan dulu sama seseorang sampai merasa cocok. Kamu pengin pastiin seseorang itu memang the one. Pertanyaannya, kenapa Gio belum bisa mendapatkan predikat itu?"

"Kamu susah banget ngertiin kemauan aku deh, Ne." Sha menyandarkan kepala di kursi. "Aku... masih punya banyak keinginan yang belum tercapai."

"Karier dan asmara bisa jalan bareng, kok, Sweetheart."

Sha menjadi tulang punggung keluarga. Bukan berarti dia menjalaninya dengan keterpaksaan. Hanya, kehadiran sosok lelaki yang spesial akan membuat pikirannya bercabang. Lagi pula, dia menikmati kesendiriannya. "Apa salahnya berkarier dulu tanpa harus pusing mikirin cowok?"

It Should been Over [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon