• 𝐈𝐕 ─┄ 𝐑eality ✦

254 28 5
                                    

Atensi tercuri di tengah memandangi panorama metropolitan malam hari. Diri mengernyit heran kala menoleh ke arahnya, apa dia memandang ke arahku tadi?

"Kenapa?"

Damian di sana bertumpu tangan, memandang lurus panorama malam lalu bertanya balik pada Anya, "apanya?"

"Ah, lupakan."

Kedua insan nampak terhanyut dalam sapuan canggung. Yang mengikhlaskan senyap mendominasi pada percakapan. Meski diri keduanya berdampingan, duduk berdua di bawah langit yang perlahan semakin menggelap.

"Bagaimana skripsimu?"

Basa-basi.

Anya mencoba membuka percakapan supaya suasana lebih santai. Lagipula bagaimana bisa dua orang yang sudah berteman selama bertahun-tahun bisa sampai canggung begini?

"Aman, aku bisa mengatur waktu."

Berakhir.

Itu bukan topik percakapan yang efektif, rutukan itu terus berulang dalam benaknya. Anya bukan orang yang pintar dalam memilih topik, memang dia suka bicara namun tak suka memulai pembicaraan.

Lantas diri memutuskan menyeruput kopi supaya frustasi dalam otaknya menghilang. Satu, dua, hingga tegukan ketiga sebuah kurva hadir dalam wajahnya. Hangat kopi di malam hari memang tidak mengecewakan.

"Enak, 'kan?" tanya Damian di sana yang bertumpu tangan memandangi Anya, yang juga tersenyum.

Aneh, melihat Damian seperti itu seharusnya sudah biasa untuk Anya. Namun mengapa kali ini rasanya berbeda? Ia tak kuasa menahan senyum, entah mengapa pula ia merasa ingin melihat wajah itu terus menerus?

Sejenak ia mencipta hening, beruntung fokusnya masih ada sehingga Damian tidak berpikir kalau Anya memandanginya sejak tadi. Berusaha berperilaku senatural mungkin, Anya berdehem membuat skenario seolah ia berpikir.

"Mungkin akan lebih enak jika barista lain yang membuatnya." jawab Anya dengan ringan.

"Oke, kalau begitu total pelayanan seharga tiga puluh dolar dan kopi seharga—"

"Hei! Aku bercanda! Menurutku kopi ini cukup enak, manisnya tidak berlebihan dan enak untuk dikonsumsi tengah malam seperti ini. Terutama saat mengerjakan skripsi untuk mahasiswa tingkat akhir seperti kita."

Gendang telinga menerima gelak tawa yang berasal dari sampingnya, siapa lagi kalau bukan Damian. Anya menekuk kedua alis, apakah peninjauan darinya terdengar aneh?

"Ada macchiato menempel di ujung bibirmu." ucapnya diakhiri tawa yang lepas.

Lantas Anya bergegas mengambil selembar tisu dan mengusap bagian bibirnya. Namun sayangnya macchiato masih bertengger utuh, di ujung bibirnya. Damian melihat Anya yang tak dapat menghapus bekas krim, tangan kanannya pun mengambil selembar tisu dan menempelkannya pada bagian pada bibir Anya yang tertempel krim.

Dengan halus, jemarinya mengusap bibir Anya dengan tisu. Tanpa sengaja saat itu, kedua manik berseteru dan saling mengunci. Seakan objek lain di dunia ini menghilang, yang tersisa hanya mereka di sini.

Detak jantung diri tak dapat tertahan, Damian benar-benar berhasil membuatnya gila.

"Mataku indah, ya?" interupsi Damian tiba-tiba.

Anya tak dapat berkata-kata, diri merasa panik. Wajahnya telah memanas, sebuah hal yang memalukan mendapati fakta bahwa rona merah telah merekah pada kedua belah pipinya itu dilihat oleh Damian.

Berakhir seperti dugaannya, Damian terkekeh melihat Anya.

"Tidak jelas." jawab Anya memalingkan wajah.

"Omong-omong, wajahmu memerah."

"Agaknya matamu bermasalah."

"Mana mungkin aku salah melihat bagaimana lucu dan manisnya seorang Anya Forger?"

Mata Anya membelalak sempurna. Ucapan itu dengan lantang terdengar dari balik punggungnya, yang bukan lain adalah Damian. Intonasi suara, nada suara, bunyinya terdengar jelas bahwa itu suara Damian.

"Terkejut, ya?" selubung Damian tiba-tiba.

Anya tak berkutik, masih terdiam semenjak frasa pujian itu terucap dari Damian.

"Maaf tentang perlakuanku yang tiba-tiba berubah hingga berakhir seperti ini, ada hal yang selalu mengganjal dalam pikiranku. Dua puluh empat jam, itu selalu menghantuiku, itu adalah kamu."

Semilir angin malam menerpa dua insan yang menjadi metropolis dalam ibu kota. Dingin, namun jelasnya Anya merasa malam ini tidak terasa lebih dingin karena kegugupuan menggerogoti sebagian besar relung hatinya.

Damian di sana mendesah pelan, "aku lega akhirnya frasa ini tersampaikan padamu."

Anya masih tak berkutik.

"Anya?"

"Berhenti."

Seluruh otot Damian membeku, ia terdiam selepas Anya berucap sedemikian rupa.

"Maaf." ucapnya.

"Berhenti menyerangku seperti itu, aku sedang mencerna kenyataan."

Damian terdiam sembari menunggu tanggapan selanjutnya dari Anya. Jantungnya benar-benar berdegup kencang, lantaran khawatir dan takut atas penolakan. Ia sudah memperkirakan dua prediksi bahwa Anya akan menolaknya bahkan juga menerimanya, tapi kemungkinan besar adalah ia akan menolaknya.

Seharusnya ia sudah siap mendengarkan semua keputusan Anya.

"Aku akan bicara, namun aku tidak akan membalikkan badan."

Damian mengiyakan.

"Jadi kamu menyimpan rasa padaku?"

"Iya. Aku punya rasa spesial untukmu dan aku minta maaf."

"Untuk apa?"

"Untuk memiliki rasa ini."

Anya terdiam.

"Boleh aku tanya?"

Anya mengangguk.

"Aku siap mendengarkan segala jawabanmu, jadi, apa kamu punya rasa yang sama untukku?"

𖥔 隣の人 ۪  ⊹  ˑ   𝗱𝗮𝗺𝗶𝗮𝗻𝘆𝗮Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora