• 𝐈 ─┄ 𝐂afetaria ✦

650 68 0
                                    

Hiruk pikuk kota masih tersisa di tengah malam kian pekat. Bagi para metropolitan, waktu bukanlah halangan untuk sekadar membelah jalanan demi mencapai tujuan masing-masing entah di suatu tempat atau destinasi lainnya. Mungkin saja pulang ke rumah atau tidak.

Pemilik mahkota merah jambu ini salah satunya.

Rasa penat selepas keluar dari area kampus masih tersisa dengan sedikit bulir keringat yang membasahi pelipis dan leher. Entah sudah berapa kali rapalan sumpah serapah batinnya berucap mengatasnamakan kampus, pendingin ruangan dalam kelas benar-benar tak berfungsi beberapa hari belakangan.

Pun, netra melesat pada sekitar menjadi objek paling ia minati—untuk saat ini. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Haus yang hadir seakan membuatku brain fog—sebuah kondisi di mana seseorang sulit berkonsentrasi dan mudah melupakan satu hal. Terutama, tentang tugas akhir serta skripsi yang senantiasa menggeluti ruang angan beberapa bulan ini.

Di sisi lain pula, gadis ini mengidamkan asupan kafein. Tak peduli dengan malam yang hendak menginjak pukul sebelas malam, setidaknya Sang Pencipta mengabulkan permintaannya dengan cepat kala ekor mata menangkap satu kafe yang masih dihiasi lampu temaram.

"Mungkin aku akan mampir sebentar, lalu segera pulang." gumamnya seraya menggosok kedua tangan.

Hanya butuh melangkah beberapa tapak ke depan, presensinya disambut dengan nuansa kopi dan roti di setiap sudutnya. Sebuah kafe yang menurutnya cukup terlihat sedap dipandang mata, dengan interior bergaya vintage mengingatkannya sekilas pada reka momentum kala masih belia. Dihias dengan elok, ragam perabotan dengan nuansa cokelat, seperti meja dan kursi berbahan kayu, bahkan tersedia rak buku berbahan kayu serta jajaran buku fiksi yang cukup menarik perhatiannya. Tak lupa dengan sepasang cermin yang cukup antik, memantulkan bayangan eksistensi sang gadis dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Lima menit ia terdiam memandangi sudut kafe hingga tak sadar jikalau ada seseorang yang juga menyorot presensinya dalam diam. Sekejap, mata mereka bertemu usai kekaguman tercetak jelas di rupa akan desain interior kafe itu.

Bibir seketika kelu untuk sekadar mengucapkan sepatah kata. Matanya membelalak sempurna, tatkala memori merekam eksistensi pemuda yang teramat familar dalam pikirannya. Dengan seragam barista yang membalut tubuhnya mungkin membuat sang gadis semakin tak percaya dengan adanya kenyataan.

"Sy-on?!"

Lantas sang pemilik nama mengerutkan sebelah alis tatkala namanya dilantunkan dengan keras oleh sang gadis. Tak kalah kaget, Damian refleks melangkah beberapa langkah ke belakang lantaran ia pun mengenal siapa gadis yang ada di hadapannya saat ini.

"Eh?! Rambut aneh?!"

Pening pun hadir dalam kepalanya, entah kini sumpah serapah keberapa yang telah terucap dalam batin. Yang pasti, gadis bersurai merah muda ini telah berada pada situasi yang tidak menguntungkan. Berada dalam satu ruangan bersama dengan Damian adalah adaptasi dari skenario terburuk baginya.

Banyak hal yang telah dirutuki olehnya hari ini. Selain kelas malam yang dadakan cukup membuat darahnya mendidih, ditambah pula dengan memasuki kafe yang diurus oleh manusia yang kehadirannya paling dihindari.

Susah payah ia menyembunyikan raut kesal sejak tadi, kini otot wajahnya menjadi lebih kuat dalam seketika menunjukkan ekspresi muaknya. Tanpa mengatakan sepatah kata, raganya berputar dan hendak menghentakkan satu kaki untuk meninggalkan tempat. Sebelum dicegat dengan hadirnya interupsi dari Damian.

"K-kau menguntitku, ya?!" ujarnya dengan lantunan keras.

Tangan kanan sang gadis bertengger pada pelipis, ia menjawabnya, "Astaga, tolonglah! Untuk apa aku menguntitmu?!"

"Lalu kenapa kau ada di sini?!"

"Tentu saja karena aku ingin minum kopi!"

Damian tak memberi tanggapan setelahnya, begitu pula Anya di sana tak melanjutkan perdebatan. Damian pun terlihat memeriksa lemari pendingin di belakangnya, memilah beberapa botol dari dalam.

"Suaramu terdengar serak, minum air dulu saja."

Satu kalimat yang terujar berhasil membuat tubuh Anya sedikit terlonjak. Namun karena lelah, Anya lebih memilih untuk menurut saja dan tak melanjutkan konversasi yang sebelumnya.

Anya berusaha tetap sadar dan larut dalam lamunan. Samar-samar nampak Damian berjalan mendekati Anya dan menyodorkan sebotol air mineral yang nampak berembun. Iya, air dingin.

Jemari Anya menerima botol tersebut dan segera meneguk air yang diberikan. Berkatnya, fokus yang sebelumnya hilang kini kembali, walau sedikit. Mengesalkan memang, namun Anya tetap mengucapkan terima kasih pada Damian.

"Kuliah malam?" tanya pemuda itu.

Anya mengangguk.

"Sebenarnya kafe sudah tutup, sih. Kamu harus bersyukur karena aku masih ada di sini."

Napas lega secara sengaja berembus di penghidu seiring Damian berjalan kembali ke arah counter dan mengambil sebuah buku menu kemudian meletakkannya pada meja. Menunjukkan isyarat bahwa Damian sudi melayani Anya sebagai pelanggan yang membutuhkan pelayanan.

Kaki Anya berjalan menyusul ke arah counter. Tiba di sana, matanya bergerak menyusuri dengan telunjuk yang turut menjelajahi kata perkata yang tertera pada menu. Dan di tengah aktivitasnya, semerbak kopi terhirup wangi kendati parfum maskulin memenuhi indera penciumannya. Dapat Anya rasakan, sepasang mata di hadapannya melekatkan pandangan ke arah entitasnya yang sudah mendongak untuk mengucapkan pesanan.

"Hazelnut latte satu, yang hangat, ya."

Damian mengangguk seraya menunjuk salah satu bangku, "Tunggu dulu di sana, nanti kalau aku suruh kamu ke sini, maka pesananmu sudah siap."

"Dasat barista semena-mena." ucap Anya melangkahkan kaki menuju bangku yang ditunjuk oleh Damian.

Detik pada jam pun mengisi kekosongan yang tercipta. Begitu pula dengan suara kendaraan yang mulai terdengar samar. Perlahan, kesunyian melanda daratan.

"Kamu kerja di sini?" Anya kembali membuka obrolan, melemparkan pandangannya pada sosok pemuda yang berurusan dengan mesin penghangat.

"Kalau aku jawab iya, apa untungnya di kamu?" Jawabnya dengan ringan.

"Jawab saja, kalau ini rahasia pun aku tidak akan mengatakannya."

"Iya, aku kerja paruh waktu di sini. Hanya ingin mengisi waktu selain kuliah."

Anya mengangguk paham, sebelum akhirnya namanya disebut oleh Damian untuk mengambil pesanan.

"Lalu, ini rahasia?" tanya Anya seraya mengambil kopinya di meja counter.

Damian mengangguk keras, meminta padanya untuk tidak mengatakan kenyataan bahwasannya dia bekerja menjadi seorang barista di sebuah kafe yang cukup dekat dengan kampus.

"Kamu tidak dijemput?" tanya Damian melanjutkan konversasi.

Anya menggeleng, "Aku tidak mau merepotkan papa dan mama malam-malam begini."

"Setelah kopimu habis, tunggu aku sebentar. Jangan pulang dulu."

"Untuk apa? Urusanku sudah selesai."

"Aku antar, rumah kita 'kan bersebelahan."

Kenyataan yang selalu ingin sang gadis sangkal bahwa dia memang tak dapat menjaga jarak yang teramat jauh dengan pemuda yang suka mengganggunya. Namun kenyataan tetap kenyataan, tak dapat ia hindari lagi. Pahit maupun manis, itulah yang akan selalu ia cicipi setiap bertemu muka dengan Damian.

Dan semenjak adanya pertemuan yang tak disengaja malam ini, pandangan Anya tentang Damian sedikit berubah. Bahwasanya Damian bukan pemuda yang seburuk yang ada di bayangannya.

𖥔 隣の人 ۪  ⊹  ˑ   𝗱𝗮𝗺𝗶𝗮𝗻𝘆𝗮Where stories live. Discover now