"Pak, Ibu minta maaf, selama ini selalu menekan Bapak. Ibu .... "

Tangis Ibu pecah kembali, tubuh wanita yang telah membesarkanku itu merosot ke lantai, Bundanya Nayya yang kebetulan berada di sampingnya dengan sigap menguatkan dengan memeluk bahu Ibu.

Sementara itu Bapak masih berdiri, tak bergeming. Lelaki yang saat ini memakai atasan kemeja warna biru itu hanya menatap ibu tanpa ekspresi.

"Bapak, kalau dengan meminta maaf seperti ini, bisa membuat Bapak sembuh. Ibu janji akan melakukannya setiap hari, Pak. Ibu memang salah. Selama ini Ibu salah. Ibu takut mengakui kesalahan Ibu, ego Ibu terlalu tinggi, Pak."

"Mas, aku juga minta maaf. Gara-gara aku, Mas arif seperti ini. Mas Arif adalah korban obsesi kami. Kami salah, Mas."

Bapak tetap bergeming tapi sorot matanya sudah meneduh.

"Ibu dan Ibu ini sedang minta maaf sama Bapak. Bapak 'kan pemaaf. Bapak juga orang baik, Kita semua, yang pernah hidup, pasti pernah khilaf kan, Pak? "

El bicara lembut di hadapan Bapak, mencoba memberi pengertian. Sorot mata Bapak berubah, seperti penuh luka. Dengan memutar tubuh, Bapak kembali menyeret tangan El agar membawanya pergi.

"Sama Sari saja, Pak. Ya?" sergahku sebelum langkah mereka menjauh.

Sudah banyak hal yang di perbuat El hari ini, dia pasti punya pekerjaan lain.

Mereka menghentikan langkah. El menatapku sekilas seakan bilang 'nggak apa'

Tanpa mengindahkan tatapan El aku mendekati mereka "El, terimakasih sudah bujuk Bapak. Sekarang biar Bapak sama aku saja. Kamu pasti harus kerja."

Pria itu mendesah, netranya beralih menatap Bapak.

"Pak, besok kita main lagi. Sekarang Bapak sama Sarifah dulu ya."

Aku bahkan menahan napas karena menunggu reaksi Bapak. Lelaki tua itu seperti keberatan.

Fikar dan Nayya saling pandang, mereka seperti bingung melihat kedekatan Bapak dan El.

"El, Sari." Dua kalimat pelan terucap. Dari bibir Bapak.

"Apa Pak?" tanyaku sumringah. Bapak memanggilku.

"El, Sari." ulang Bapak lagi.

"Mungkin Bapak pengennya kalian yang menemaninya, bareng." seru Ibu yang masih dengan posisi semula.

"Bapak mau El sama Rifah yang nemenin?" tanya El pada Bapak. Lalu kemudian di jawab dengan anggukan Bapak cepat.

"Okey, lets go."

Detik berikutnya tanpa kusangka, pria itu menggenggam tanganku agar ikut serta sementara tangan lainnya di gelayuti Bapak. Pria itu menggiring kami masuk, menemani Bapak istirahat.

***
   Bima menungguku di depan rumah, sudah hampir seminggu ini kami tidak bertemu. Pemuda itu sedang di sibukkan dengan mengurus keperluan Bapaknya yang akan mencalonkan diri sebagai kepala desa.

Selama tidak bertemu, Bima tetap perhatian seperti biasanya. Pria itu tetap menelpon, tetap mengirimkan pesan, tetap memantauku. Setiap hari, tanpa alpa.

Dia juga selalu tahu kabarku, apapun yang aku alami pria ini tahu. Seolah cenayang, salah satunya adalah tentang El yang begitu di terima oleh Bapak.

Pria ini sudah tahu.

"Fikar yang cerita?"

"Bukan. Istrinya."

Aku melenguh, Nayya, Nayya.

"Apa aku kalah start?" Wajah Bima mengiba.

Aku tahu arah pembicaraan pria yang kini memakai kaos pendek warna merah hati ini.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ