Prolog

572 80 15
                                    

Hng?

Yaci bergeming, termenung tiga langkah di depan lorong toilet wanita.

Lima detik.

Sepuluh detik.

Lima belas detik.

Yaci memutuskan kembali melangkah di detik kedua puluh.

Mungkin efek kecapekan.

Tidak ada alasan yang lebih masuk akal dari apa yang barusan terlintas di pikirannya. Akhir-akhir ini tidurnya memang sangat-amat kurang, utamanya satu minggu ke belakang. Tidak heran kalau sewaktu-waktu otaknya bisa tiba-tiba malfungsi, memvisualisasikan hal-hal yang tidak mungkin terjadi. Beruntung kantung matanya masih bisa tersamarkan riasan. Kalau tidak, mungkin para tamu akan bertanya-tanya kenapa ada panda berkeliaran di resepsi pernikahan.

"Long time no see."

Suara husky yang terdengar akrab namun juga teramat asing di saat yang bersamaan mengetuk rungu Yaci dengan sopan. Langkahnya lantas kembali terhenti. Dirogohnya handie talkie dari saku celana, mengecek apa suara barusan berasal dari sana.

Nyatanya bukan.

Yaci mengerutkan kening, membalikkan badan hanya untuk menemukan sosok yang dipikirnya tidak lebih dari sekadar imajinasi masih berdiri di tempat yang sama, tidak bergeser walau barang satu inci. Dirogohnya saku yang lain, kali ini dari blazer, menemukan bungkusan obat penambah darah yang belum sempat dibuang.

Udah diminum, kok. Apa istirahat gue sekurang itu ya sampai halu separah ini?

Yaci masih yakin kalau apa yang dilihatnya tidaklah nyata. Pasalnya hal terakhir yang ia ketahui tentang sosok yang tertangkap matanya adalah ia sudah hidup dan menetap di belahan dunia yang lain sejak bertahun-tahun yang lalu. Tidak ada alasan yang cukup logis—setidaknya bagi Yaci—untuknya tiba-tiba berada di negeri ini, terlebih di bangunan ini, terkhusus di acara ini. Tidak didapatinya sosok yang sama di acara pemberkatan kemarin, yang notabenenya lebih sakral dan lebih privat, sudah menjadi bukti bahwa tidak ada hubungan yang dekat-dekat amat antara kedua mempelai dengan sosok itu. Sementara menempuh perjalanan dengan penerbangan selama kurang-lebih 16 jam rasanya terlalu berlebihan untuk dilakukan hanya demi menghadiri acara berdurasi 3-4 jam oleh seseorang yang hanya berstatus kolega—berstatus teman pun masih tergolong berlebihan, apalagi jika hanya sekadar kenalan. Jadi sebagai konklusi, Yaci percaya bahwa apa yang ada di hadapannya saat ini hanyalah akal-akalan kepalanya saja.

Walaupun sejujurnya, ia merasa kondisi tubuhnya cukup baik terlepas dari kurangnya istirahat yang ia dapat.

Pengelihatannya tidak berputar, kepalanya tidak berat, tubuhnya tidak lemas, kakinya berpijak dengan mantap dan matanya tidak panas. Selain kurang tidur, Yaci yakin dia tidak punya masalah terkait kesehatannya saat ini. Jadi, kenapa setelah tiga menit berlalu, halusinasinya akan sosok sang mantan masih juga belum menghilang?

Kecuali, dia bukan halusinasi.

"Um, hai?"

"Hai."

Yaci terkesiap. Ia berani bersumpah ia hanya mengetes saat menyapa sosok itu tadi. Tidak ia sangka kalau sapaannya akan berbalas, yang berarti sekalipun ia kurang tidur, tidak ada yang salah dari otak, mata, maupun telinganya.

"Oh, wow! Hei, long time no see. Kok bisa di sini?"

Pertanyaan bodoh, Yaci paham sekali. Tapi, hei, memangnya apa yang harus ia katakan pada orang yang baru ia lihat lagi setelah hampir 10 tahun berlalu?

"Di sini as in acara ini atau di," Jean, yang ternyata bukan hanya sekadar khayalan, menunjuk arah belakangnya dengan ibu jari, "Sekitar toilet?"

Ternyata Jean sama bodohnya.

Tapi mau yang mana pun, Yaci tahu jawabannya. Ia tertawa canggung. "Undangan, dan, mau buang air? Haha, ya jelas lah, ya? Sorry, gue kurang minum deh kayaknya."

Hampir 1 dekade. Tidak heran kalau Yaci jadi kikuk begini. Tidak heran juga kalau ia ingin secepatnya pergi dari sini. Dan, tidak heran pula kalau Yaci melewatkan perubahan air muka yang sempat Jean tunjukkan beberapa detik sebelum kembali tampak biasa-biasa lagi.

"Go get a drink, then." Ada senyum di wajah Jean saat mengucapkan hal itu, meski Yaci gagal menafsirkan maksud dari tatapan yang ditujukan padanya. "Acaranya masih panjang, kan?"

"Ahh, iya." Yaci mengangguk.

Kini semua asumsi—alasan—yang dibuat Yaci sudah terbantahkan hanya dengan fakta bahwa mereka kini tengah bercengkrama, terlepas dari ia yang masih belum mendapat jawaban atas alasan kemunculan Jean yang tanpa aba-aba. Mungkin kapan-kapan, kalau mood dan waktunya ada, Yaci akan mencoba bertanya.

"Ekhem, gotta go." Jean menjadi yang lebih dulu mengakhiri pertemuan, mengangkat satu tangan sebagai salam perpisahan, kemudian bertolak ke arah toilet pria. Yaci turut beranjak ke arah sebaliknya, kembali ke aula utama tempat seharusnya ia berada.

Satu yang tidak Yaci tahu, Jean sebenarnya tidak punya urusan apa-apa lagi di tempat yang ia tuju.

Just Don't DateWhere stories live. Discover now