"Kamu kenapa sih? Masih mikirin tugas kamu?" tanyanya tepat sasaran. Aku lebih memilih memalingkan wajahku ke tengah-tengah kolam daripada menjawab pertanyaan Kak Adit tadi.

            "Menurut Kakak?" akhirnya aku memberikan pertanyaan retoris pada Kak Adit.

            "Bel, kamu kan tau kenapa Kakak ngelarang kamu," suaranya kini terdengar lembut di telingaku. Sulit bagiku untuk mengacuhkannya, maka aku menjawab, "Abel gak tau."

            Aku yakin Kak Adit kaget mendengar pernyataanku barusan, karena jujur aku sendiri pun kaget. Aku sebenarnya tahu apa maksudnya, Kak Aditlah yang tidak mengerti maksudku.

            "Bel, Kakak gamau kehilangan kamu. Kakak gak sanggup kehilangan satu lagi adiknya Kakak," ucapnya pelan dengan nada yang mengiris hati dan sukses membuatku memandang wajahnya. Matanya menatap lurus-lurus padaku, membuatku mati kutu dibuatnya.

            Tapi ini tugas Abel. Abel mau jalanin karena Malikha yang minta.

            "Kak Adit ngerti kalo kamu merasa sangat bertanggung jawab banget sama tugas ini. Tapi tolong ngertiin Kak Adit juga," seolah tahu apa yang kupikirkan, ia memberiku permintaan.

            "Siapa yang gak ngertiin siapa, Kak?" tanyaku spontan. Kak Adit memalingkan wajahnya dan menatap pepohonan yang rajin dirawat Bi Nah, seakan tanaman itu lebih menarik daripada menjawab pertanyaan sindiranku.

"Abel harus, Kak," kataku sangat pelan karena aku tak yakin Kak Adit akan segera membalas pertanyaanku atau memberikan argumen lainnya.

            "Abel.."

            "Don't argue with me, Kak, Abel tau sayang Kakak ke Abel dan Malikha melebihi rasa sayang Kak Adit ke apapun di dunia ini. Tapi Abel ngelakuin ini bukan cuma buat Abel. Bukan cuma karena Abel ngerasa bertanggung jawab sama tugas Abel. Tapi demi Malikha, Kak. Demi janji yang Abel buat ke Malikha untuk hidup bahagia dengan pilihan Abel, dengan resiko dan kesenangan yang Abel dapet dari pilihan Abel," kataku memotong apapun perkataan Kak Adit yang tadinya akan ia lontarkan.

            Kak Adit tercengang dengan semua yang aku katakan, mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi tak kunjung ku mendengarnya. Akhirnya ia merangkulku. Pelukannya terasa hangat sekali karena kasih sayangnya memancar.

            "Kakak gak tau kan kalo Malikha sama Abel tadinya mau sekolah sama-sama di SMA negeri? Kakak gak tau kan kalo Malikha pengen Abel bahagia, bahagia menggantikannya? Kakak gak tau kan..." aku menumpahkan isi hatiku pada Kak Adit.

            "Maaf, Bel. Kakak nggak tau kalo selama ini kamu pengen masuk SMA negeri, ikut OSIS, dan lain-lain itu ternyata buat Likha. Maafin Kakak, Bel," ucapannya terasa mendamaikan hatiku. Aku mengangguk memberikan maafku pada Kakakku satu-satunya sekarang. Aku senang karena ini pertanda izin sudah ku kantongi.

            "Tapi ada syaratnya kalau kamu tetep mau ngelakuin tugas kamu itu," ucap Kak Adit dengan nada memerintah. Aku mendorong dada Kak Adit dengan kedua telapak tanganku dan menggerenyit.

            "Apa, Kak?" tanyaku takut.

            "Kakak harus tau jadwalnya yang bener-bener bener," ucap Kak Adit.

            "Bener-bener bener?" tanyaku pada Kak Adit menyuarakan keherananku.

            "Iya itu.." jawabnya sambil garuk-garuk kepala.

            "Iya apa?" aku semakin bingung.

            "Official scheduleinya gitu lho," ungkapnya.

TaeKwonDo Love StoryWhere stories live. Discover now