The Antagonist Princess

Start from the beginning
                                    

"Tugas pertama telah selesai."

Pria itu meletakkan telapak tangannya di depan dada lalu membungkuk hormat kepada buku yang ada di atas batu. Dari cahaya temaram obor yang ia bawa, tampak 'lah kerutan di wajah sosok pria tua itu.

"William Carter menyambut kebangkitan Falcon."

***

"Hah!"

Leviza bangun dengan napas tersengal-sengal. Wanita itu mendudukkan diri, ia berada di atas lantai kayu. Hal pertama yang langsung ia pastikan adalah lehernya. Telapak tangannya langsung menyentuh permukaan lehernya dengan panik.

"Masih utuh?" gumamnya tak percaya.

Pandangan matanya menelisik sekeliling, ia berada di dalam kamarnya. Rasa sesak sekaligus lega langsung membekap hatinya. Jika hanya mimpi, tetapi ia menjalani hari-hari dengan begitu jelas dan panjang. Semua perasaan itu sangat nyata. Jadi, satu hal yang terjadi saat ini adalah ia hidup kembali.

Lelehan air mata jatuh perlahan di pipinya. Tubuhnya bergetar hebat bersamaan dengan rasa sesak yang tersisa.

"Aku ... masih hidup?" gumamnya sendiri.

Alis Leviza mengerut ketika ia merasakan sesuatu yang mengganjal di tangannya. Begitu membuka telapak tangannya, Leviza dibuat nyaris memekik saking terkejutnya. Bagaimana tidak? Di tangannya ada sebuah botol yang masih teringat jelas di kepalanya bahwa itu adalah botol racun yang ia gunakan secara berkala untuk membunuh adik bungsunya.

"Sebenarnya, apa yang terjadi?"

Dua puluh tahun hidup di dalam kastil dengan hidup serba berkecukupan dan mewah, membuat Leviza Xavier, sang putri sulung Kerajaan Gloria tumbuh menjadi pribadi yang angkuh dan semena-mena. Wajar saja, alih-alih menjalani rutinitas layaknya putri kerajaan lain yang menghadiri berbagai pesta dan acara kerajaan, kehidupan Leviza selama dua puluh tahun ini hanya dihabiskan belajar, membaca, dan entah apa pun di dalam sangkar emas bersama para pelayan.

Jangan salahkan gadis itu apabila ia merasa iri pada kedua adik kembarnya. Pangeran Leonard, saudara ke dua serta Putri Lenora si bungsu, mereka menjalani kehidupan layaknya bangsawan tingkat atas pada umumnya. Menghadiri pesta dan berbagai perjamuan, mendapatkan debutante, bahkan mereka bisa menjejakkan kaki ke berbagai kerajaan lain dalam berbagai urusan.

Kebebasan yang kedua adiknya itu dapatkan sangat bertolak belakang dengan berbagai kekangan yang didapat Leviza. Sejak kecil, tak pernah sekali pun Leviza keluar dari dinding beton yang mengelilingi halaman kastil miliknya ini. Meski terlihat megah, tetapi di dalamnya hampa. Leviza kesepian. Meski sesekali Raja, Ratu dan kedua saudaranya berkunjung, tetapi tak mampu mengusir rasa kesepian dan dambaan akan kebebasan.

Mereka tidak tahu, ketika mendengar bagaimana ketika ia mendengarkan kedua adiknya itu bercerita mengenai dunia luar dan kebebasan berpetualangan ke sana kemari, jauh dalam lubuk hati Leviza ingin menjerit. Ia iri, sangat iri. Mengapa kedua adiknya itu bisa menikmati dunia yang bebas, sementara dirinya tidak. Bahkan, kedua adiknya telah melakukan debutante, di mana ia hanya bisa mendengar suara alunan musik dan berbagai keramaiannya dari jendela puncak kastil.

Agaknya, kehadiran sosok pemuda yang pertama kali ia temui dala hidupnya selain ayah dan adiknya membuat Leviza jatuh hati pada ketampanannya. Duke Axton Lectuzen, bangsawan muda yang terbiasa hidup di medan perang, menggantikan posisi ayahnya yang telah wafat dan menjadi pemuda tertangguh di kerajaan.

Hari pertemuan pertama mereka adalah ketika Duke Axton yang tak sengaja menginjakkan kaki di daerah kerajaan tak sengaja tersasar. Pria itu berada di dataran tinggi, memandang bingung ke penjuru arah. Hingga matanya tertuju ke arah bangunan kastil yang ada di area bawah. Kastil besar yang tersembunyi dari bangunan lain, tetapi tampak sangat terawat.

Yang membuat Duke Axton semakin tertarik adalah ketika ia tak segaja melihat seorang gadis berkulit pucat dan memiliki rambut perak tengah berada di gerbang. Gadis itu berlutut, tangannya berusaha menggapai sesuatu di luar pagar, tak menyadari jika keberadaannya sejak tadi menjadi pusat perhatian Duke Axton.

Sebuah gulungan benang merah.

Merasa penasaran, Duke Axton berjalan mendekat. Pria itu memungut gulungan benang merah, lalu mengulurkannya kepada si gadis bersurai perak. Merasa terkejut dengan kedatangan orang asing, sontak wajah Leviza dibuat terangkat terkejut. Kedua matanya membelalak, terkagum-kagum melihat sosok pria rupawan di hadapannya.

Leviza ingat betul, itu adalah cinta pertama. Siapa sangka, sosok cinta pertamanya itu 'lah yang kelak membuatnya buta dan tersesat.

"Nona ini siapa? Mengapa berada di sini?"

Mendengar pertanyaan Duke Axton, Leviza dibuat terheran-heran karena sosok itu tidak mengenalinya. Ya, wajar saja, toh dia adalah putri yang disembunyikan. Dan sekarang Leviza baru menyadari, bahwa mungkin selama ini namanya tidak pernah ada dalam sejarah Kerajaan Gloria.

"Leviza Xavier."

"Seorang putri?" Duke Axton tampak sangat terkejut. "Nona, tolong jangan bercanda dengan nama keluarga kerajaan."

Leviza mendengar suara dari sisi pria itu. Mata gadis itu membelalak saat melihat tangan pria itu menarik sedikit pedang dari sarungnya. Seketika itu, Leviza berubah ketakutan.

"Duke Axton! Apa yang kau lakukan di sana? Kakak, mengapa kau berada di luar? Udara sangat dingin nanti kau bisa sakit!" teriak Putra Mahkota Leonard Xavier, salah satu adik kembarnya yang segera datang menuruni anak tangga batu yang menuju kediaman kastil milik Leviza.

Leviza segera bangkit dan membalikkan badan. Wanita itu berlari ke dalam kastil. Keesokan harinya tiba-tiba Duke Axton kembali mengunjunginya dan meminta maaf. Meski awalnya terasa kaku, tetapi karena Leviza memang sangat terpukau dengan ketampanan milik sang Duke, mereka pun mudah akrab. Sejak hari itu, Duke Axton menjadi temannya. Namun, jauh dalam lubuk hati Leviza sendiri berharap mereka lebih dari teman.

Sekarang, Leviza hanya bisa tertawa sumbang. Leviza masih ingat betul di detik-detik terakhir hidupnya. Ekspresi dingin pria itu ketika pedang sang Raja menebas leher Leviza.

"Aku menyesal pernah jatuh cinta pada pria sepertinya dan aku tidak butuh rasa kasihan oleh siapa pun."

Satu hal yang seketika langsung terbesit di benak Leviza. Tepat di detik-detik sebelum kematiannya, Raja Devian sang ayah menyebut nama Falcon dan iblis.

"Siapa Falcon?"

Antagonist Lady And The Villain DevilWhere stories live. Discover now