Prolog

3.3K 174 35
                                    

Wangi vanilla menyeruak ketika Milan mendorong pintu kaca café itu. Interior yang dipenuhi dengan kayu, semakin membuat tempat itu terlihat nyaman dan sederhana. Musik jazz mengalun lembut memenuhi indera pendengarannya. Mata cokelatnya berpendar liar, mencari seseorang yang tadi mengirimnya pesan.

Bisa ketemu di café biasa? Gue tunggu ya.

Hanya sepenggal kalimat itulah, Milan langsung meninggalkan aktivitas malas-malasannya di rumah, dan pergi memenuhi panggilan dari laki-laki yang pernah menjadi miliknya itu.

"Hai," sapa Milan pelan ketika berhasil menemukan lelaki-nya.

Cowok itu, Alex, mengangguk dan tersenyum. "Gue udah pesenin buat lo."

Milan melirik secangkir green tea latte di hadapannya lalu mendengus pelan. Alex masih mengingat minuman kesukaannya. "Makasih."

"Lo cantik pake baju itu."

Please, Alex. Jangan buat gue berharap lebih jauh.

Milan memilih untuk diam. Tangannya saling menggenggam satu sama lain, mencari kehangatan. Karena entah kenapa udara di sekitarnya terasa lebih dingin. Mungkin karena cuaca, atau karena laki-laki di hadapannya.

Alex memperhatikan gerak-gerik cewek di seberangnya. Kepala cewek itu menunduk, seakan tak berani menatap matanya. Genggaman tangannya sesekali mengerat, dan Alex dapat merasakan kaki perempuan itu yang bergerak-gerak gelisah.

"Milan," panggilnya lembut, membuat cewek bernama Milan itu mengangkat kepalanya, dan memberanikan diri menatap lurus kedua mata hitamnya. "Ya?"

Alex tersenyum kecil. "Gimana keadaan lo?" tanyanya sambil tetap memperhatikan Milan yang tiba-tiba bergerak tak nyaman.

"Baik, Lex," jawab Milan tak sepenuhnya berbohong. Karena memang fisiknya baik, tapi ia tidak yakin hatinya merasakkan hal yang sama. "Lo gimana?"

Bibir Alex menyunggingkan senyum lebar. "Gue lagi deket sama Ratu."

Deg.

Dunia Milan seakan berhenti untuk seketika. Matanya menatap lurus ke arah Alex, mencoba mencari kebenaran dalam ucapannya. Ia tak menemukan apapun, kecuali ketulusan. Cowok itu serius ketika mengatakannya. Dan Milan, berharap sebentar lagi Alex tertawa dan berkata 'Bercanda, Mil.'

Namun apa yang ia harapkan ternyata tak kunjung terjadi. Alex masih tetap pada posisinya, tersenyum dan menatap Milan seolah-olah ialah cowok paling bahagia di dunia. Sayangnya, kebahagiaan itu bukan lagi dirinya. Kebahagiaan itu tergantikkan oleh seseorang yang dulu pernah menjadi sahabat baiknya.

"Oh ya? Bagus dong." Milan memaksakan sebuah senyum keluar dari bibirnya. Meskipun dalam waktu yang sama, hatinya hancur berkeping-keping.

Alex sedikit menertawakan kebodohan Milan. Cewek itu mati-matian menutupi perasaannya, dan tersenyum, padahal ia sepenuhnya gagal. Alex dapat melihat jelas sorot terluka di kedua matanya. Ia didera rasa bersalah. Alex sadar, dirinya terlalu sering membuat cewek itu menangis. Tetapi ia juga tidak bisa memaksakan perasaannya kepada Milan. Ia sudah tidak mencintai cewek itu.

"Mil—"

"If i'm not the one, then i'm the best mistake you've ever had," potong Milan sambil perlahan mendongakan kepala. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Tatapan matanya perlahan melembut dan tidak ada lagi ketakutan di dalamnya. Ia dengan santai menatap Alex. "Kapan gue dapet pajak jadiannya?"

Tanpa disadari, Alex menghembuskan napasnya lega dan tersenyum. "Pasti dapet kok."

"Eh." Milan melirik jam di pergelangan tangannya. "Gue harus pulang. Mau bantuin Mama. Duluan ya."

Tanpa menunggu balasan dari Alex, Milan langsung pergi dan meninggalkan tempat itu. Tangis yang sedari tadi ia tahan, seketika tumpah menuruni pipinya seiring ia berlari cepat menuju halte. Isakan kecil terdengar dari mulutnya, membuat siapapun yang mendengarnya sontak meringis.

Ia tidak menyangka rasanya akan sesakit ini. Melihat laki-laki yang kau cintai, memutar kemudi dan memilih untuk berbalik pergi. Milan tak bisa memaksakan kehendak Alex untuk mencintai seseorang. Dirinya telah memutuskan pergi, demi kebaikkan mereka berdua. Dan ia yakin, Alex, dapat menemukkan pengisi hatinya yang baru. Tentu lebih baik dari dirinya.

Semoga kamu bahagia, Alexandro.

Sincerely, MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang