𝐈 ─┄ 𝐒olitary ࣪˖ ⏳

809 37 1
                                    

Day 01 - Solitaryft

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Day 01 - Solitary
ft. AmaNene

▬▭▬▭▬▭▬▭▬▭▬▭▬

Malam ini sunyi. Tanpa hadir sang rembulan disertai sohibnya sang lintang, hanya diisi dengan dersik air yang menghujam bumi dengan derasnya. Momen yang langka, bukan? Selama musim panas ini aku selalu merasakan bakaran tepat menghujam permukaan kulitku, dan sekarang tepat di malam hari dingin menyeruak dengan cepatnya hingga ke dalam tulang.

Malam ini terasa redup, hujan yang langka pun tak terasa spesial malam ini. Jika diibaratkan, mungkin selayaknya kala mendengar siaran musik melalui radio, dan langkanya, yang kamu dengar ialah lagu yang selalu ayahmu dengar melalui piringan hitam yang terputar di rumah. Hal yang langka, namun tak membekas untukku.

Karena itu bukan yang aku sukai, begitu pula tentang hujan ini. Hujan yang redup, membawa perasaan kosong dari dalam dada kemudian mengalir sedemikian mengikuti arusnya. Bohong sebenarnya kalau aku bilang aku benci hujan, sebaliknya, aku sangat menyukai hujan.

Namun, seperti yang aku katakan sebelumnya. Hujan kali ini tak memberikan kesan spesial untukku, biasanya setiap kali hujan hadir aku akan antusias menerjang diri ke tengah aspal. Bermandikan air mata semesta, setelahnya suara familiar itu akan menjerit dan berkata.

"Yashiro! Nanti kamu bisa demam!"

Bahkan sumber suara itu tak jarang mengimbuhi ujarannya untuk menerima payung yang ia sodorkan untukku.

Aku ingat jelas bagaimana mimik wajahnya di bawah langit mendung. Alisnya yang tertekuk, nampak risau tatkala empunya menemukan figurku terjun begitu saja dengan bebasnya. Tampak menggemaskan, aku suka dengan setiap momen itu terulang. Berulang dan terus berulang.

Suaranya yang menjerit itu selalu berdengung di khayalanku, seakan menggodaku untuk terus saja mengurung diri di dalam kamar. Dia, dengan kesialannya berhasil membuatku hidup, tetapi mati.

Kau tahu? Sekarang rasanya aku tak mengerti harus berbuat apa selain melamun di dalam kamar yang perlahan menjadi pengap dan lembab, memutar ulang reka memori saat air mata semesta menghujam kami berdua yang dengan mudahnya saling melempar kembang birai pada satu sama lain.

Itu kondisiku sekarang. Dua hari telah berlalu, tak kunjung mereda sesak dalam dada. Seluruh memori terus saja terputar kendati dia selalu menyuruhku merelakan semuanya.

Dan aku pun tak sadar, telah berapa lama aku menggenggam figura ini? Figura ini, hanya satu-satunya yang aku punya dari kenangannya. Sebuah foto seseorang, pemuda berkulit pucat yang senantiasa menjadikanku prioritas dan berpura-pura buta perihal kondisinya. Memegang sebuah lampu tidur berbentuk bulan dengan raut wajah yang riang. Pun, bibirnya yang pucat turut tersenyum bahagia.

Foto ini belum lama diambil dan dicetak, kala itu ulang tahunnya. Aku memberinya hadiah sebagai penyemangat dan apresiasi untuk perjuangannya, berupa barang yang mungkin ia sukai karena kerap aku jumpai figurnya membaca sebuah buku astronomi. Tak jarang pula ia menceritakan segala sesuatu di luar angkasa yang tak aku ketahui dengan suaranya yang perlahan melemah dan parau.

Kala itu, langit bersuka cita layaknya mengucapkan selamat untuknya pula. Sungguh betapa baiknya semesta pada manusia ini, namun siapa sangka selepas suka cita akan hadir duka cita?

Katanya saat itu, dia mengantuk, kemudian bertanya apa mungkin itu karena ia suasana sejuk hari itu seraya mengembangkan birai yang tertutup oxycan. Setelahnya ia melepas tawa pelan.

Tawanya di penghujung kalimat berhasil membuat air mataku saat itu menumpuk di pelupuk mata. Aku menyentuh jemarinya, terisak pelan, di kala aku mengingat bagaimana ia berusaha menautkan jemarinya pada jemariku dengan sekuat tenaga. Seakan ia ingin berkata, tolong bahagialah tanpaku, Yashiro...

Aku menghela napas dengan sedikit sulit, begitu enggan untuk mengatakan kejadian itu yang membuatku kehilangan orang yang penting dan sialnya memorinya akan selalu merekat.

Dan jujur saja, aku menyesali satu kalimat yang terlontar di biraiku kala mengusap jemarinya yang mendingin.

"Kamu... boleh tidur jika kamu lelah, Amane." itu yang aku katakan.

Amane setelahnya mengangguk setelah terdiam, "terima kasih, ya, Yashiro."

Ia memberi jeda. Lantas, di detik berikutnya pemuda itu meminta sesuatu yang berhasil membuat mataku terpejam erat.

"Lain kali bawakan aku bunga lily, oke?"

Dengan susah payah aku berusaha untuk tetap menahan air mataku menetes, aku berdehem—susah payah untuk menyetujui permintaannya.

"Iya, Amane, akan aku bawakan."

Amane tersenyum ketika jemari kami berhasil bertaut, ia berbisik pelan kemudian... sangat pelan seakan suaranya habis ditelan masa.

"Sekali lagi, terima kasih, Nene."

Aku sama sekali tidak bisa merespon apapun saat ucapannya berakhir. Terlalu cepat atau terlalu sejuk suasana kala itu hingga aku tak sadar Amane telah terlelap.

Tubuhnya telah mendingin, jemari yang telah tertaut terlepas. Aku merasakan sesuatu yang membuat tubuhku merasa gemetar takut. Saat alat itu berbunyi dengan frekuensi datar, dan grafik yang ditunjukkan menjadi datar pula, ia memejamkan mata dengan tenang seperti rasa lelahnya telah hilang.

Waktu itu, aku hanya bisa menekukkan lutut hingga terjatuh dan terisak dengan keras.

"Selamat tidur untukmu, Amane."

Mungkin bila Amane melihat keadaanku sekarang, ia akan memarahiku. Karena aku sadar dengan kenyataannya.

Bahwa pada akhirnya, aku tak berhasil bahagia tanpanya. Aku hanya akan berakhir dengan kegelapan dan kesepian.

𖥔 𝐀𝐍𝐆𝐒𝐓 𝐖𝐄𝐄𝐊 ۪  ⊹  ˑ   𝗷𝘀𝗵𝗸Where stories live. Discover now