Sosok Koshi datang lebih dulu. Pria paruh baya itu berdiri di samping pintu luar dan berposisi mempersilakan masuk seperti para pelayan di sana.

Tap... tap....

Terdengar suara langkah kaki yang mendekati ruang makan. Langkahnya perlahan namun tegas. Seiring suara langkah itu mendekat, Midoriya mulai bercucuran keringat dingin.

Tap!

Datang. Sosok itu akhirnya tiba di depan pintu. Midoriya tidak berani menoleh melihat, otot lehernya kaku bagai ranting.

Tak berhenti lama di depan pintu, sosok itu memasuki ruangan. Langkahnya terasa semakin dekat, dekat, dan dekat. Hingga Midoriya akhirnya merasakan hembusan angin pelan dari suara pakaian panjang yang putra mahkota kenakan.

Akhirnya sosok itu sampai di meja di seberangnya dan duduk.

Midoriya berani bersumpah jantungnya tak pernah berdetak sekencang dan seberat itu sama sekali sebelumnya. Sampai-sampai dia merasa detak jantungnya mungkin bisa terdengar oleh orang lain saking kerasnya.

Dari balik penutup wajahnya, Midoriya masih belum berani menatap langsung sang putra mahkota. Dia sedikit menunduk, hanya mampu menatap hingga sebatas separuh tubuh atas pria itu saja.

Pelayan mulai bekerja cepat. Dengan hati-hati namun gesit, mereka menghidangkan makan malam ke atas mejanya dan putra mahkota. Baru setelahnya kepala pelayan, dan seperti dugaannya, Koshi, duduk di meja belakang.

Suasana menjadi sangat berat dan mencekam bagi Midoriya. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Biasanya dia akan makan selagi berbincang santai dengan kepala pelayannya yang sopan dan ramah, tapi saat ini dia sama sekali tak tahu harus bagaimana.

Dari balik penutup wajahnya, Midoriya menatap Koshi. Penasehat itu sepertinya sadar tengah ditatap, diam-diam dia mengisyaratkan Midoriya untuk bicara.

Bicara? Di depan putra mahkota? Apa yang harus dia katakan?

Ah terserahlah, dia akan coba buka mulut.

"Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk datang kemari, Yang Mulia. "

Berhasil, Midoriya berhasil bicara. Dia juga mempertahankan nadanya setenang mungkin meski di dalam jantungnya seperti ingin meledak. Entah apa dia bicara dengan benar atau tidak.

"Saya yakin Yang Mulia sangat sibuk, bisa meluangkan waktu untuk bergabung pada makan malam ini bersama saya pasti sulit. Saya beruntung. "

Apanya yang beruntung. Itu justru petaka besar baginya! Kalau bisa, Midoriya ingin sekali pergi sangat jauh dari tempat ini.

"Ya, maaf sebelumnya karena aku sedikit terlambat. " suara putra mahkota yang berat begitu mendominasi di ruangan itu.

Seketika atmosfer berubah, Midoriya merasa seperti ada udara dengan tekanan yang berat, yang membuat punggungnya meronta menolak untuk dalam posisi duduk tegak sempurna. Midoriya hanya bisa mengepalkan erat kedua tangannya di bawah meja untuk tetap tenang.

Astaga, dia bicara pada orang yang akan menduduki status tertinggi di negara. Orang yang paling berkuasa. Rakyat biasa seperti dirinya merasa tengah berhadapan dengan monster buas raksasa, sementara dia meringkuk ketakutan layaknya anak kelinci tersesat.

"Tenang Midoriya, tenang. " pikirnya. Mencoba menyugesti diri.

"Saya sama sekali tidak mempermasalahkannya. " jawab Midoriya. Ajaibnya dia masih bisa duduk diam dengan setenang mungkin.

Makan malam dimulai. Dengan putra mahkota yang pertama bergerak memegang sumpit, Midoriya mengikuti. Kepala pelayan dan Koshi mulai makan terakhir.

Suasana begitu senyap. Hanya terdengar suara dari alat makan, tak ada seorang pun yang bicara.

Fake Bride - BNHA Fanfict (Completed)Where stories live. Discover now