Dengan pakaian bangsawan yang berlapis yang dia pakai, Midoriya tidak bisa melangkah terlalu cepat. Kakinya harus sedikit demi sedikit menapak ke depan. Namun pria itu menuntunnya dengan sabar dan penuh senyum.

Saat berjalan, Midoriya baru menyadari betapa luas dan indahnya taman tempat dia berada sekarang. Dia jarang menyambangi kediaman bangsawan, jadi dia selalu terpukau saat melihatnya. Bahkan tempat ini lebih luas dibanding kediaman Kisami.

Mereka terus melangkah melewati taman dengan alunan gemericik air mancur besar yang ada di kolam dan juga patung-patung hiasan. Hingga Midoriya kemudian mulai masuk ke dalam bangunan besar dan mewah yang dia pikir adalah rumah utama.

Di balik penutup wajahnya, Midoriya sibuk terkagum-kagum oleh isi bangunan itu. Segala hal terlihat sangat mahal. Lantai, dinding, karpet, lukisan, lampu-lampu, dan lain sebagainya. Jika rumahnya di desa dijual sekalipun, belum tentu dia bisa membeli satu barang yang ada di sana.

Ukuran ruangan demi ruangan yang dia lewati juga tak kalah membuatnya terperangah. Satu ruangan saja sudah hampir seluas rumahnya. Dia mungkin bisa tersesat kalau ditinggal sendirian.

Pria paruh baya itu mengarahkannya ke sebuah ruangan, membuka pintu gesernya. "Silakan beristirahat terlebih dahulu, Nona. Nanti siang baru saya akan menjelaskan banyak hal. "

Midoriya mengangguk pelan. Setelah pria itu meninggalkannya, Midoriya dengan kikuk melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Dia menutup kembali pintu geser dan melihat pemandangan yang tersaji.

Ruangan yang kira-kira seluas satu pertiga rumahnya, lantai bertatami kualitas tinggi, berbagai perabot dan hiasan mahal, cahaya lampu yang hangat, dan futon selembut sutra.

Benarkah dia boleh beristirahat di sini? Kondisi rumahnya sangat berbanding terbalik dengan tempat itu, membuatnya merasa bersalah untuk tidur di tempat yang terlihat mahal.

Namun futon lembut itu membuat rasa lelah yang dia tahan selama seminggu ini seolah memuncak. Melepaskan penutup wajahnya, Midoriya akhirnya mencoba duduk di atas futon itu. Sensasi lembut dan hangat membuat kantuknya datang.

Dia mungkin sangat gugup dan cemas pada tipuan yang harus dilakukan, tapi tubuhnya tetap perlu istirahat. Menekuk lutut dan membenamkan kepala ke antara dua kakinya, Midoriya pun terlelap.

.
.
.
.
.

Terdengar ketukan lembut di pintu gesernya.

"Nona. "

Kelopak matanya berkedut, tapi dia menghiraukannya. Dia masih ingin tidur sebentar lagi.

"Nona, saya datang membawakan teh."

Pada ketukan ketiga kalinya, Midoriya akhirnya sadar jika dia tidak lagi berada di rumah. Dengan terkejut dia bangun, memeriksa kondisi dirinya sendiri.

Dengan panik dia merapikan pakaian juga rambut sebelum berdiri dan mengenakan penutup wajahnya. "Ah, iya. Silakan masuk. "

Pintu geser terbuka, pria paruh baya tadi membawa sebuah baki berisi cangkir, teko, dan sepiring kudapan manis. "Bisakah kita bicara selagi menikmati secangkir teh? "

Midoriya mengangguk. Baki itu diletakkan di atas sebuah meja rendah karena ruangan itu tidak memiliki kursi, bantal duduk yang tersedia sudah cukup hangat untuk lantai bertatami. Midoriya duduk bersebrangan dengan pria itu.

Setelah menuangkan teh, pria paruh baya itu mulai bicara. Pertama dia mengenalkan diri sebagai Koshi, orang yang menulis surat.

"Apa Nona tidak penasaran kenapa di tempat ini tidak terlihat ada orang selain pelayan? "

Fake Bride - BNHA Fanfict (Completed)Where stories live. Discover now