Dari Dilema Memilih hingga Dipilihkan yang Terbaik

5 0 0
                                    

{Karya ini telah diterbitkan dalam buku PTN Impian dari penerbit AI-LTM Publishing pada 28 Maret 2021 dan menjadi 20 karya terbaik lomba menulis kisah inspiratif "Perjuangan Meraih PTN Impian"}

Kalau ditanya sewaktu kecil, "Kamu sudah besar, ingin menjadi apa?", jawaban anak pada umumnya itu pasti, "Mau jadi dokter". Benar? Aku memang dari kecil inginnya menjadi dokter. Namun, seperjalanan hidupku dari SD hingga SMA, aku paling "anti-banget" sama yang namanya materi hafalan. Apakah itu artinya aku jago di hitung-hitungan? Mungkin bisa dikatakan demikian. Aku sewaktu SMP pernah berpikir untuk lulus dulu dari jurusan matematika, barulah nanti lanjut kuliah ke kedokteran. Nyatanya, tidak bisa demikian, kan? Kita hanya bisa disediakan beberapa tahun setelah SMA saja untuk bisa mendaftar ke perguruan tinggi negeri. Aku baru mengetahui sistem tersebut ketika aku sudah memasuki SMA.

Ketika menduduki kelas XI di SMA, aku banyak mendengar desas-desus bahwa sekolahku di-banned dari jalur SNMPTN di UI. Saat aku mendengar hal tersebut, aku merasa bahwa aku tidak perlu mempertahankan nilai raportku karena pada akhirnya juga sia-sia. Padahal awalnya aku berharap sekali untuk bisa melewati jalur paling nyaman tersebut. Kemudian, aku mendengar juga bahwa banyak kakak kelasku yang mendapatkan jalur undangan ke ITB dan UB. Aku mulai berpikir untuk mencari jurusan yang berada di sana agar kesempatan lulusku cukup tinggi.

ITB bagusnya buat teknik, mungkin aku bisa mengambil teknik informatika karena aku menyukai teknologi dan komputer. Lalu, untuk UB, mungkin aku bisa tetap mengambil kedokteran di sana. Itulah rencana awalku. Hingga suatu ketika ada informasi menarik yang mengatakan kuliah kedokteran di Unpad gratis. Aku mulai tertarik dengan universitas itu, ditambah lokasinya yang berada di Bandung. Lokasi belajar dengan suasana yang adem dan antipolusi membuatku semakin berminat ke sana dibandingkan ke UI. Ingin rasanya aku bisa merantau dari kota Jakarta yang tiap harinya semakin panas saja ke tempat yang jauh lebih sejuk. Saat aku memberitahukan mengenai Unpad ke orang tuaku, ayahku setuju. Namun, ibuku tidak rela jika aku harus merantau. Aku sendiri juga belum tahu apakah aku siap atau tidak, mengingat seumur hidupku aku tidak pernah pergi ke luar Jakarta sendirian. Namun, tidak ada salahnya mencoba, kan?

Selang beberapa waktu, aku mulai mencari informasi mengenai jurusan psikologi. Aku cukup tertarik dengan jurusan tersebut, ditambah jurusan itu ada di Unpad dalam rumpun saintek. Lalu, aku juga teringat dengan kakak sepupuku yang tinggal di Yogyakarta. Aku juga sempat berkeinginan untuk kuliah di UGM. Katanya kedokteran di UGM bagus juga, jadi tidak ada salahnya memikirkan tujuan ke arah sana. Tak hanya itu, aku juga berpikiran untuk ke Unair. Cukup banyak pilihan yang aku inginkan tersebut. Namun, aku belum menyiapkan apapun ketika kelas XI tersebut. Aku hanya menggunakannya untuk bermain-main saja, mengingat nilai raporku juga sudah ada yang turun. Aku juga saat itu sedang ikut les Bahasa Jerman dan sempat berpikiran untuk melanjutkan kuliah ke Jerman. Aku juga mendapatkan informasi beasiswa S1 ke Jepang. Intinya, aku benar-benar memiliki banyak sekali tujuan untuk kedepannya.

Namun, ketika memasuki kelas XII, aku mulai merasa bahwa aku harus memfokuskan diri ke satu pilihan yang benar-benar aku inginkan, bukan karena keinginan orang lain. Aku berpikir untuk mengambil matematika karena aku benar-benar murni menyukai matematika karena diriku sendiri. Namun, ayahku mengatakan bahwa lebih baik mengambil komputer dibandingkan matematika. Sebenarnya, aku cukup bingung antara mengambil jurusan yang aku sukai (matematika), jurusan yang memiliki masa depan yang kata ayahku baik (komputer), atau jurusan yang menantangku untuk terus belajar (kedokteran). Hingga suatu ketika aku mengetahui bahwa banyak orang yang menyerah pada mimpinya karena kesulitan yang akan dihadapinya di masa depan. Banyak juga yang menyerah pada impian masa kecilnya karena hal itu dinilai tidak sesuai dengan keinginannya saat ini. Banyak juga yang "mencari aman" dengan memilih jurusan yang dikiranya mudah dan menyenangkan. Padahal, dalam menempuh masa depan yang kita inginkan itu tidak bisa dikatakan selalu mudah dan menyenangkan. Pasti ada saja yang membuat kita menyerah meraih mimpi kita, walaupun sebelumnya hal tersebut terlihat mudah dan menyenangkan untuk dicapai.

Dengan berbagai pertimbangan yang terus menerus memintaku untuk segera menentukan tujuan utamaku, akhirnya aku memilih memfokuskan diri mengambil tantangan terbaik namun masih mungkin untuk dicapai saat itu. Aku menempatkan FKUI sebagai pilihan pertama dengan pertimbangan karena jurusan tersebut di universitas tersebut memiliki keketatan masuk tertinggi di Indonesia. Aku beranggapan bahwa jika aku memfokuskan diri mencapai yang tertinggi, aku bisa berkembang semaksimal mungkin. Selain itu, aku merasa jalan hidupku benar-benar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh profesi masa depan jurusan tersebut. Untuk perihal waktu kuliah yang lama, bahkan hingga 10 tahun jika mengambil spesialis, aku justru semakin merasa ini benar-benar keinginanku. Aku ingin belajar selama mungkin dan di sana sudah pasti diwajibkan untuk terus belajar sepanjang hayat. Jadi, aku memilih FKUI sebagai pilihan pertama dengan FK Unpad sebagai pilihan kedua. Lalu, pilihan ketiganya masih bingung.

Sempat kepikiran juga untuk mengambil jurusan ilmu gizi karena aku pribadi cukup suka dengan hal-hal yang berkaitan dengan makanan. Ditambah lagi, ilmu gizi di UI juga tidak sesulit untuk masuk ke matematika UI. Namun, aku berpikir untuk menunda memastikan yang ketiga tersebut hingga sebulan sebelum SBMPTN. Hal ini aku lakukan agar aku dapat memilih jurusan yang sesuai dengan kemampuan akhirku setelah belajar setahun ini. Aku mencoba melupakan sementara terkait pilihan ketigaku di SBMPTN untuk mencegah diriku kehilangan fokus untuk belajar semaksimal mungkin.

Hari demi hari berlalu. Aku menghitung mundur jadwal SBMPTN yang akan aku ikuti nanti. Dari 100 hari, berlanjut ke 50 hari, 30 hari, 7 hari, 3 hari, hingga sisa sehari lagi aku akan berperang dengan soal-soal yang menurut banyak orang itu cukup menantang. Saat itu, aku sudah memastikan pilihan ketigaku di SBMPTN. Aku memasukkan matematika karena menurutku matematika adalah pelajaran yang bisa menjadi alat untuk membantu semua bidang lainnya. Aku juga merasa tidak keberatan jika harus hidup 24 x 7 hari untuk mengotak-atik rumus dan sebagainya. Bagaimanapun juga, matematika pernah menjadi satu dari sekian pemicu keberhasilanku selama di sekolah. Jika kita menguasai matematika, bukan tidak mungkin kita bisa menguasai segalanya.

Selain itu, aku juga merasa lebih nyaman dengan matematika dibandingkan dengan hal lainnya yang berkaitan dengan hafalan. Dari hasil tryout terakhirku juga sangat memungkinkan untukku dapat masuk jurusan matematika. Jadi, aku rasa mungkin pilihanku ini sudah tepat. Aku menyerahkan sisanya kepada Tuhan. Walaupun dalam hatiku, aku sebenarnya lebih menginginkan matematika sebagai partner hidupku, mungkin aku bisa menjadi dosen dan peneliti di bidang matematika.

Selain itu, aku juga memikirkan kemungkinan terburuknya, yaitu tidak diterimanya aku di SBMPTN jurusan mana pun. Aku bertekad untuk "kabur" ke luar negeri. Aku merasa jika aku gagal di tingkat I, maka aku harus berjuang lebih untuk mendapatkan tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, aku bisa terus-menerus berjuang dan tidak menyerah dengan apapun hasilnya nanti. Mungkin saja aku malah senang tidak diterima di kampus Indonesia, namun berhasil melanjutkan studi ke luar negeri. Aku mempersiapkan mentalku untuk hal tersebut.

Selain itu, aku juga mencoba berbagai ujian mandiri. Aku mengambil SIMAK UI dan UTUL UGM. Namun, aku hanya mengikuti SIMAK UI saja karena ujiannya sebelum pengumuman. Aku memilih matematika, ilmu komputer, dan ilmu gizi. Selang beberapa hari, pengumuman SBMPTN diberitahukan dan aku diterima di FKUI. Aku tidak percaya dan mencoba mengulangnya hingga lebih dari tujuh kali. Setelah itu, aku menangis karena aku bisa diterima di sana. Aku memberitahukannya kepada orang tuaku dan mereka bersyukur akan hal itu. Setelah itu, pengumuman SIMAK UI, ternyata aku tidak diterima di ketiganya. Mungkin karena aku sudah terdaftar sebagai mahasiswa UI melalui jalur SBMPTN. Bagaimana pun juga aku harus bersyukur, bukan?












Back in TimeWhere stories live. Discover now