BAB 10.1 [END OF LINE]

Mulai dari awal
                                    

"Sialan! Mengapa kau baru bercerita sekarang? Tidakkah kau menganggap kami adalah keluargamu?" kata Shokichi. Perasaannya tak bisa ia gambarkan.

"Maafkan saya, Duke. Saya ingin menyiapkan semuanya semaksimal mungkin sebelum memberitahu kalian. Saya tidak ingin kalian panik dan khawatir." jawab Gun-chan.

"Tetap saja! Ini. Ini. Ah, aku bisa cepat mati jika kalian terus menerus seperti ini." seru Shokichi kesal.

"Tetap saja anakku. Kau tak bisa terus menerus memikul tanggungjawab semesta diatas pundakmu. Kau tidak sendirian disini. Kami adalah keluargamu. Kau bisa membaginya dengan kami, Nak." kata Naoki bijak. Ia lantas mendekati Gun-chan dan memeluk anak semata wayangnya.

Gun-chan menangis tersedu pada bahu sang Ayah. Rasanya seluruh beban dipundaknya kini tak seburuk sebelumnya. Perasaan hangat, yang entah sejak kapan tak lagi mengisi kekosongan dihatinya, perasaan aman saat berada didekapan sang ayah, membuat Gun-chan memeluk sang Ayah lebih erat.

"Tidak ada salahnya kau memperlihatkan kerapuhanmu, anakku. Kau tak bisa selamanya menjadi yang terkuat, seolah hatimu terbuat dari baja. Kau adalah anak ayah. Kebanggaan ayah. Ayah yang paling tahu, seberapa dalam luka yang tersimpan dihatimu."

"Meski kau terlihat tegar dan hebat dimata dunia, dimata rakyat dan teman-temanmu. Ayah tahu, kau adalah anak yang paling rapuh. Menangislah sepuasmu jika itu bisa meringankan luka hatimu. Ada ayah disini. Aku akan selalu mencintaimu, anakku."

Naoki terus menerus memberikan tepukan lembut pada tubuh gemetar yang dipeluknya. Melihat hal itu, Shokichi juga mendekat, dan memeluk keduanya.

Beberapa meter dibelakang mereka, dua orang kakak beradik dari ras vampir tengah mengintai dalam diam.

"Kau menangis kak?!" tanya Ryuji

"Tidak." jawab Takahiro tanpa mengalihkan pandangannya dari 3 orang yang sedang berpelukan di ruang tamu mansionnya.

"Kau menangis." kata Ryuji kukuh.

"Brengsek. Aku bilang, aku tidak__EH!!"
Takahiro merasakan sesuatu mengalir dipipinya. Ia kemudian mengusapnya dan mendapati bahwa pipinya basah.

"I-ini.. Ah, mataku kelilipan debu. Sialan!! Ini menyakitkan." gerutu Takahiro mencoba mengelak dengan memberi alasan. Sayangnya, sang adik, Ryuji, sangat mengetahui bagaimana watak dan pembawaan kakaknya.

"Jadi kau menangis karena kelilipan debu? Dan menyakitkan? Memang sebesar apa debu yang masuk dimatamu itu, Kak?" goda Ryuji.

"Diam kau adik bodoh!!" sungut Takahiro dan berlalu pergi dari sana. Ia tak suka digoda dan dijahili adiknya yang kurang ajar itu.

"Hahahaha. Makan saja gengsimu kak." Ryuji masih tertawa dibelakang punggung Takahiro. Ia berhenti tertawa saat ia juga merasakan sesuatu mengalir turun disepanjang pipinya.

"Ya benar. Ini sungguh menyakitkan, sialan!!" ujar Ryuji mengusap kasar sisa-sisa liquid di pipi dan pelupuk matanya.

"Kak, tunggu aku." Ryuji lalu berlari menyusul kakaknya ke ruang tamu menemui keluarganya.

.
.
.

"Hei, adikku yang menyebalkan. Masih berani kau menginjakkan kaki dirumah ini setelah menghancurkan separuh mansion?" ujar Takahiro julid pada adik bungsunya, Omi.

Yang ditanya memandang kedatangan Takahiro tanpa mengubah ekspresi wajahnya yang datar.

"Hei, aku sedang bicara denganmu. Sungguh tak sopan mengabaikan saudara tuamu, brengsek!!" Takahiro mulai naik darah. Entah mengapa, ia sangat ingin mencari masalah hari ini.

FULL MOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang