"Anitha, aku sedang berada di masa sulit. Kumohon kerja samamu untuk dapat menemukan Laura. Apa kau tidak merasa kehilangan sahabatmu?" 

"Pertanyaan macam apa itu?" Anitha tahu bahwa Theodore sedang memutarbalikkan keadaan agar dirinya tidak dihakimi. "Fokuslah pada permasalahanmu, Norbert."

"Kau terkesan menyudutkanku."

"Aku tidak menyudutkanmu. Astaga!" Terdengar lenguhan tipis keluar dari mulut Anitha. "Kau pikir aku polisi yang sedang menginterogasimu? Aku sahabat istrimu, aku juga berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Laura selama ini." 

Kedua telapak tangan Theodore mengusap wajah. Ia tertunduk kesal.

Anitha bangkit lantas duduk di sebelah kiri Theodore sambil memegang bahunya. "Aku paham perasaanmu. Tapi kau harus mengesampingkannya saat ini. Bicaralah, ceritakan semuanya padaku dan aku akan membantumu." Jeda sesaat. Anitha melihat tatapan suami sahabatnya yang tersirat rasa keberatan, tetapi juga keinginan untuk mengatakan sesuatu. Anitha kembali membujuk Theodore, "setiap orang memiliki rahasia, aku tahu itu. Mungkin sudah saatnya kau membuka kotak hitam milikmu. Demi Laura dan putrimu."

Separuh hati Theodore belum siap untuk mengungkapkan jati diri yang sebenarnya. Namun, di saat bersamaan, ia merasakan gumpalan di dalam dadanya hampir meledak ketika ingatannya kembali pada momen menegangkan saat di bandara Turki beberapa tahun silam.

***

Sesuatu menangkap penglihatan Theodore saat ia mulai mendekati ambang pintu toilet wanita. 

Ia tidak ingin benar-benar masuk karena mengerti soal etika. Akan tetapi, ini bukan perihal etika, melainkan sosok wanita dengan rambut keriting burgundy yang Theodore yakini sebagai Monica, kakak ipar kriminalnya, dan baru saja ia lihat beberapa detik lalu.  Theodore digerayangi rasa cemas dan takut, terlebih ketika Monica masuk ke dalam dan dipastikan bakal bertemu dengan Laura jika istrinya itu tidak berada dalam bilik toilet.

Wajahnya sedikit masuk ke dalam untuk melihat situasi, tetapi sekat dinding menghalangi pandangan. Seorang wanita paruh baya berkebangsaan Turki tiba-tiba memukul pundaknya dan menegur menggunakan bahasa Turki yang tidak dapat Theodore pahami sedikitpun. 

"Do not enter!" kata wanita itu pada akhirnya, dengan jari telunjuk memperingatkan.

Theodore lega mendengar wanita itu bicara menggunakan bahasa Inggris. Ini akan lumayan membantu. "Sorry, I just want to make sure that my wife is inside," katanya. Wanita itu merespon dengan mengangguk kecil seakan mengerti. "Umm ... Mam," panggil Theodore menahan si wanita berambut putih tersebut. "Could you help me, please?"

"Yes, Sir. What can I do for you?"

"I just want to know. Is the girl with glasses talking with someone inside? She's been too long and I worry about her." Theodore melihat ekspresi sang wanita paruh baya yang tampaknya sedang mencerna kata-katanya. Keninngnya mengerut lalu tersenyum dua detik kemudian. 

"Sure, just a minute, I will check her."

Theodore mengucapkan terima kasih. Wanita itu kemudian masuk. Samar-samar, Theodore mendengar percakapan dua orang menggunakan bahasa Jerman. Jantung di dalam dada Theodore berdesir tidak keruan.

"Ini seperti akan kiamat!" ujarnya dalam hati. Wajahnya kembali mengintip ke dalam. Sialanya, malah Monica yang muncul keluar dan berjalan menunduk sambil memasukkan sesuatu ke dalam tas tangannya.

Secepat kilat Theodore menarik kembali wajahnya dan berjalan dengan langkah lebar ke dalam toilet pria. Akan sangat fatal kalau sampai Monica melihatnya. Gumpalan pertanyaan memenuhi otak Theodore saat itu juga. Ia menatap wajahnya di cermin, di depan wastafel putih mengilap yang sangat bersih. Ia mencoba menormalkan napas. Wajahnya berkeringat dan kedua tangannya gemetar saat menampung air keran untuk membasuh wajah.

Under The MirageWhere stories live. Discover now