My Courage to Speak

Start from the beginning
                                    

"Selama ini saya memang tidak pernah memberitahukan kepada orang-orang ke mana ayah Nara pergi, kenapa dia meninggalkan kami karena ... untuk apa? Apakah dengan saya bercerita dan berkoar-koar sana-sini akan mengubah apa yang sudah terjadi? Tidak, 'kan? Dan saya ingatkan sekali lagi. Tidak ada salahnya menjadi ibu tunggal, apa pun penyebabnya, ibu tunggal bukanlah manusia buruk seperti apa yang Anda pikirkan. Ibu tunggal adalah wanita tangguh yang berjuang demi buah hatinya, demi masa depan anaknya juga demi memberikan tempat ternyaman dan terbaik untuknya."

Sejenak aku diam. Mengambil napas, sementara kedua mataku telah berkaca-kaca. Tidak, aku tidak ingin menangis. Aku akan menahan air mataku untuk ini.

Sekali lagi, aku melemparkan senyum miring pada Rena. "Setidaknya, aku tidak menelantarkan anakku sendiri atau bahkan membunuhnya sebelum lahir. Aku masih bisa berjuang, dan merawatnya dengan baik. Tidak perlu seperti orang-orang yang berlagak suci."

Usai menumpahkan emosi, aku mengembuskan napas lagi. Menunduk sekilas dan berpamitan pada dua ibu-ibu lainnya yang menatapku iba.

"Permisi, saya pergi dulu."

"Hati-hati, Nay," sahut keduanya secara bersamaan.

Rasanya begitu melegakan. Untuk sesaat aku benar-benar merasa lepas, dan melangkahkan kaki begitu ringan. Di trotoar perempatan jalan raya aku berdiri mengotak-atik ponsel menggunakan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang pegangan troli dengan erat.

'Din, nanti gak perlu jemput Nara. Gue mau ajak Nara ke suatu tempat dulu sepulang kerja'.

Aku menekan tombol sent dan mengirimkan pesan tersebut pada Dinda karena pagi tadi dia sempat menelepon dan berkata akan menjemput Nara di tempat kerja setelah kelasnya selesai.

***

Dewi fortuna rupanya menemaniku seharian ini. Nara yang berada di dalam troli bayi tampak begitu tenang sementara aku menyelesaikan pekerjaan yang kebetulan tidak terlalu banyak. Sesekali aku menoleh untuk mengecek keadaannya dan memberikan susu melalui botol dot kecil, dan Nara tertidur cukup lama bahkan sampai jam kerjaku hampir habis.

Tepat pukul tiga sore, bos sudah mengizinkanku keluar dari kantor. Sembari menunggu Grab yang kupesan di depan kantor, beberapa rekan kerja menyapa dan mengajak bercengkrama sejenak. Tidak butuh waktu lama, sebuah mobil jenis SUV berhenti di depan kami. Aku meraih dan menggendong Nara terlebih dulu sebelum memasukkan troli bayi ke dalam bagasi belakang.

"Jalan, Pak."

Sepanjang jalan, aku memperhatikan Nara yang kembali tertidur lelap. Seulas senyum tersemat ketika aku benar-benar menyadari bahwa paras Nara memang 80% cetakan dari ayahnya. Satu-satunya yang aku turunkan pada Nara hanya bulu mata lentik dan panjang, juga garis wajah yang lembut. Aku pun berpikir, jika Nara besar nanti dia pasti akan sangat mirip dengan ayahnya.

"Sudah sampai, Mbak."

Terkesiap. Segera aku membuka pintu mobil dan turun untuk mengambil troli bayi di bagasi. Kaca mobil bagian depan diturunkan, sopir mobil tersebut berkata, "Jangan lupa bintang limanya, ya, Mbak."

Aku terkekeh ringan, menganggukkan kepala setelah meletakkan Nara ke dalam troli kemudian menyahut, "Iya, Pak. Tenang saja."

Jajaran pohon kamboja putih di sepanjang jalan setapak terbuat dari beton menyambut kedatangan kami dengan semerbak wangi. Embusan angin yang menyapa seolah membisikkan kata 'selamat datang' di telinga dengan lirih.

Ini kedua kali aku menginjakkan kaki di sini. Tempat yang sebenarnya hanya membuka luka lama yang perlahan mulai tertutup sedikit demi sedikit.

Sembari mendorong troli aku melangkah, jalanan yang sedikit menanjak membuatku cukup terengah-engah. Sampai kemudian sebuah bangunan 3 lantai yang berdiri di hadapanku menjadi sajian utama. Tidak banyak orang yang berlalu lalang, hanya tampak beberapa wanita dan pria lanjut usia yang duduk di bangku taman sebelah bangunan.

Aku melangkah, masuk ke dalam bangunan dan menyusuri area. Hingga di lantai dasar paling ujung, di mana terdapat rak-rak berjajar bak almari perpustakaan dengan cat kuning emas tertangkap indra. Sejenak aku menghela napas panjang, kemudian berjalan lurus ke arah salah satu loker kata yang di dalamnya terdapat sebuah guci keramik coklat, pigura, dan buket bunga lily putih yang sudah tampak layu.

Tanganku bergerak membuka loker, mengambil buket bunga tersebut dan menggantinya dengan yang baru.

"Nara, ucapkan salam untuk ayah," kataku selagi menggendong Nara. Menunjukkan foto seorang laki-laki dengan identitas nama Johanes Vernanda.

"Ver, kamu tahu? Setiap kali aku datang ke sini, itu, rasanya seperti dicabik-cabik. Kamu pergi di saat aku melahirkan Nara. Tega banget kamu, Ver." Aku menatap lekat-lekat pada foto Vernanda dalam loker tersebut."Tapi, tidak apa-apa. Sekarang aku punya Nara. Dia adalah sekarang adalah duniaku, segalanya untukku."

Sambil menciumi pipi Nara aku berkata, "Apa pun yang terjadi, meskipun kamu tumbuh besar tanpa seorang ayah, Ibu akan berusaha membuatmu hidup bahagia, Nak."

Dan kamu ... tenanglah di alam sana, Ver. Aku pasti akan memberikan seluruh cintaku untuk anak kita.

*****

END

*****

Terima kasih sudah berkunjung dan membaca cerita ini. Sampai jumpa di karya-karya yang lainnya .... 😉

Her Wisdom [✓]Where stories live. Discover now