166 31 0
                                    

Soraru sama sekali tak menyangka, ia harus mendengar kabar pahit disaat hatinya mulai membaik.

Awalnya semua berjalan dengan baik. Pagi-pagi ia berjalan santai menyusuri setapak berbatu menuju ke toko langganannya. Mafumafu tetap di rumah, membersihkan rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah yang lain.

Meski ini pinggiran Ibukota, suasananya begitu asri. Puing-puing yang ada tak sebanyak di pusat kota. Udara yang segar, burung-burung yang bercicit. Ah, sudah berapa lama ia tidak leluar rumah pagi-pagi begini?

Ibu pemilik toko menyapa ramah begitu Soraru masuk, "Ara, Sora-chan... tumben sekali melihatmu disini pagi-pagi sekali? Apa kabarmu?"

Soraru terkekeh, "Kabarku baik, Sanae-san. Mumpung senggang aku kemari pagi-pagi."

"Oh, iya. Dimana Emi-chan? Aku punya permen rasa baru untuknya. Si kembar tidak ikut juga?"

Mendengar ini, sebenarnya hati si raven sempat mencelos. Ia bimbang, jawaban macam apa yang seharusnya ia beri? Ah, rasanya ia ingin sekali menangis. Ia ingin berteriak bahwa anak-anaknya telah mati terbunuh. Ia ingin meraung, bertanya mengapa takdir sekeji itu harus terjadi pada anak-anaknya yang tak bersalah.

Tapi tidak, Soraru memilih senyum terlembut yang bisa ia sajikan. Meredam getar sebisa mungkin pada suara, si raven menjawab, "Mereka... tidak bisa ikut."

"Aduh, sayang sekali," si pemilik toko menumpu dagu dengan kening berkerut sedih. Tapi kemudian wanita paruh baya itu tersenyum. "Ya sudah, aku bungkuskan saja, ya. Sampaikan salamku pada Emi-chan!"

Soraru menampa permen lolipop itu seraya mengangguk, "Un, pasti."

Syukurlah, sisa gaji suami yang ada di tangannya masih ada. Setelah ini, Soraru harus segera putar otak untuk mencari pekerjaan.

Soraru menjadi satu-satunya pengunjung toko pagi itu. Karena itu, suasana cukup sepi. Ibu pemilik toko jadi terus mengajak si raven mengobrol. Soraru hanya menanggapi sekenanya. Sambil terus memilih barang-barang yang ia butuhkan di rumah

"Akhir-akhir ini semakin banyak orang jahat, ya... Sora-chan, jangan terlalu percaya pada orang asing, ya. Kemarin tetanggaku kena rampok karena menolong orang asing yang dia temui di jalan. Haizz... dunia ini sudah semakin gila saja," tiba-tiba ibu pemilik toko bicara.

Soraru tersentak. Perkataan ibu pemilik toko barusan seketika mengingatkannya pada Mafumafu. Kalau dipikir lagi, bukankah seharusnya ia merasa curiga? Mafumafu bukan siapa-siapanya. Mereka betul-betul baru saling kenal malam lalu. Sudah begitu, cara mereka bertemu cukup janggal.

Mengapa Mafumafu punya pikiran menerobos masuk malam itu? Sekalipun dia memang anak yang kabur dari rumah dan merasa butuh tempat bermalam, seharusnya ia tak punya pikiran menerobos sembarangan ke rumah orang lain. Pun kalau misal ia yakin rumah itu kosong, untuk apa di awal dia langsung mantap mendobrak pintu depan, seolah yakin itu dikunci?

Lalu, mengapa orang itu begitu baik padanya, padahal mereka baru pertama kali bertemu?

Rupanya, ada banyak hal ganjil yang menyelimuti pertemuan pertama mereka.

Soraru bimbang, dan juga sedikit takut. Di saat seperti ini dirinya memang dalam kondisi tak stabil. Ia butuh sandaran, butuh tumpuan. Namun, di saat yang bersamaan ia trauma menyerahkan kepercayaannya pada orang lain. Ia takut disakiti, takut hatinya terkoyak semakin dalam.

Siapa yang bisa ia percaya?

Ah, berusaha ditepis segala gundah itu. Ia harus kuat. Bukankah dirinya telah memantapkan diri untuk terus hidup? Soraru lekas menyemangati diri. Mengalih pikiran kalut dengan kembali sibuk memilih belanjaan.

HiraethWhere stories live. Discover now